Ziarah ke Musoleum Mao Zedong

Mao ZedongLebih mudah melafalkan kata Mao Zedong daripada Mao Tse Tung, meski kedua nama itu pada hakikatnya sama. Dialah pemimpin besar Cina, bapak bangsa yang telah memproklamasikan Republik Rakyat Cina (RRC) pada tanggal 1 Oktober 1949 di hadapan lautan rakyat di lapangan Tiananmen. Lapangan Tiananmen terletak di pusat kota Beijing, ibukota RRC. Orang dulu menyebut Beijing dengan Peking. Sama saja.

Itu artinya, negeri yang pernah berjuluk “Tirai Bambu” itu, baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-60. Di sana, perayaan ulang tahun kemerdekaan yang ke-60 dirayakan dengan ingar-bingar. Salah satunya adalah pemutaran film epik “Berdirinya Sebuah Republik” yang melibatkan artis-artis besar seperti Jackie Chan, Jet Li, dan Andy Lau. Hajat besar itu kemudian ditutup dengan pergelaran opera Turandot karya Puccini di Megastadium Sarang Burung, oleh sutradara Zhang Yimou. Repertoar itu melambangkan lahirnya “Cina yang baru”.

Yang tak kalah khidmat dan pantas dicatat, adalah kemeriahan suasana Tiananmen. Sebuah lapangan raksasa di pusat kota, yang di antaranya berdiri musoleum tempat jenazah Mao Zedong (1893 – 1976) disemayamkan. Hampir setiap hari, kecuali hari Senin, rakyat berbaris panjang dalam antrian yang teratur. Selangkah demi selangkah, iring-iringan itu memasuki musoleum hendak menyaksikan jenazah Mao yang diawetkan. Pada musim liburan, panjang antrean bisa berkilo-kilometer, meliuk-liuk di hamparan Tiananmen. Semua pengunjung tidak dipungut bayaran. Tetapi pemerintah hanya membuka kesempatan dari pagi, pukul 09.00 hingga 12.00 siang.

Mausoleum_of_Mao_Zedong

Adapun suasana di dalam musoleum yang terletak di bagian selatan Tiananmen, suasana begitu kontras. Ingar-bingar di lapangan sana, menjadi hening-khidmat di dalam. Selain hawa sejuk, penerangan yang redup, membuat mulut terkatup. Setidaknya, itulah yang saya rasakan, ketika tahun 1990-an berkesempatan “ziarah” ke persemayaman Mao Zedong yang diresmikan 9 September 1977, atau setahun setelah meninggalnya Mao.

mausoleum

Iring-iringan manusia yang hendak memberi penghormatan kepada Mao, berjalan melambat ketika mendekati pusat ruang. Dalam jarak sekitar tiga meter antara tepi jalan dan peti jenazah Mao, tampak samar jazad Mao yang utuh karena proses pembalseman. Ia terbaring tenang dalam peti yang bagian atasnya tertutup kaca. Bendera negara menutup sebagian jazad Mao. Meski begitu, wajah mendiang Mao terlihat dengan sangat jelas.

Tak ada satu pun pengunjung yang diizinkan membawa kamera, membuat saya rasa gemas ingin mengabadikan jazad Mao yang terbujur tenang. Sambil berjalan di samping kiri peti jenazah Mao, mata ini tak putusĀ  menatap jengkal demi jengkal “Orang Besar” Cina itu beserta peti jenazahnya yang kokoh dan anggun.

Langkah-langkah kaki perlahan mengarah ke pintu keluar. Sempat saya berhenti sedetik-dua untuk menatap yang terakhir kali sebelum langkah kaki meninggalkannya. Petugas jaga berseragam militer warna hijau memberi isyarat untuk terus melangkah, melarang peziarah berhenti meski hanya sedetik.

Roso Daras di Beijing

Di luar, suasana kembali ramai. Masyarakat yang datang dari seluruh penjuru negeri Cina, berbaur dengan para turis yang datang dari seluruh penjuru dunia. Selain menikmati suasana Tiananmen yang tak jauh dari “Kota Terlarang” (Forbidden City) serta Monumen Pahlawan Rakyat. Selain itu, tedapat pula sebuah tugu yang jika dibandingkan Tugu Monumen Nasional (Monas) di Jakarta, kalah megah.

Satu kesan yang tertangkap, betapa rakyat Cina begitu memuja Bapak Bangsanya. Pengawetan jazad Mao, mereka lakukan sebagai wujud penghormatan yang dalam sepanjang masa. Untuk kita, barangkali cara itu berlebihan. Mengawetkan jenazah bukanlah tradisi bangsa Indonesia untuk menghormati pepunden-nya. Jika Bung Karno kita sepakati sebagai Bapak Bangsa Indonesia, saya yakin, dia pun tidak akan menyetujui jazadnya diawetkan, dibalsem dan diletakkan di museum dan setiap anak bangsa bisa melihat dan menghormatinya turun temurun hingga kiamat.

Posting naskah kenangan ini, sejatinya mewakili dua suara hati. Yang pertama adalah rasa kagum atas eksistensi negara Cina yang begitu fantastis di usia ke-60 tahun kemerdekaannya. Yang kedua, ungkapan rasa iri, demi melihat bangsa Cina begitu menghormati Bapak Bangsanya, sementara bangsa kita yang justru hampir melupakan Bapak Bangsanya. (roso daras)

Published in: on 2 Oktober 2009 at 03:23  Comments (5)  
Tags: , , , , ,