Fatmawati di “Melawan Lupa”

fatmawati melawan lupa

Hari ini, Selasa 12 November 2013, pukul 23.05 malam, Metro TV menayangkan program “Melawan Lupa”. Kali ini, topik yang diangkat tentang Ibu Negara yang pertama, Fatmawati. Adalah Aji Baskoro, reporter Metro TV yang menghubungi serta meminta kesediaan saya menjadi salah satu (dari empat) narasumber program tersebut. Saya spontan menjawab, “Kenapa tidak Inggit Garnasih?” Aji menjawab, “Eposide Inggit sudah pernah, sekarang kita akan mengangkat Fatmawati.”

Saat saya memposting tulisan ini, sama sekali belum tahu, bagian-bagian mana dari wawancara saya yang ditayangkan, dan bagian-bagian mana yang tidak ditayangkan alias kena edit. Sebelum wawancara dilakukan pun, saya sudah menyampaikan ke Metro TV untuk diperkenankan memotret sosok Fatmawati secara jujur. Jujur dari pengamatan saya tentunya.

Sekalipun begitu, saya memiliki gunting sensor sendiri atas apa-apa yang harus dan patut dikemukakan, dan bagian-bagian mana yang tidak baik untuk konsumsi publik. Sebab, seperti halnya Bung Karno, maka sejatinya istri-istri Sukarno pun memiliki banyak dimensi sebagai seorang manusia. Termasuk sudut kelebihan dan kekurangan. Jika terhadap Bung Karno, siapa saja bisa menyoal sisi-sisi yang dipandang negatif, mengapa tidak kepada istri-istrinya?

Beberapa contoh saya kemukakan di sini…. Ihwal Fatmawati yang meninggalkan Istana (baca: meninggalkan suami). Ihwal, sikapnya yang keras kepala untuk tidak mau menengok Bung Karno saat tergolek sekarat di Wisma Yaso. Bahkan, sikapnya yang menolak melayat, menengok jenazah Bung Karno saat wafat 21 Juni 1970. Tentu saja Famawati punya alasan tersendiri, mengapa dia bersikap demikian. Landasan sikapnya, barangkali hanya dia dan  Tuhan yang tahu.

Saya, dan mungkin Anda, hanya bisa menebak-nebak tentang mengapa Fatmawati berbuat demikian. Salah satu kemungkinan, kemungkinan terbesar (sekaligus terbenar) adalah karena kecemburuan dan penolakannya, ketika Bung Karno meminta izin menikahi Hartini (bahkan kemudian Ratna Sari Dewi, dan seterusnya….).

Jika itu yang terjadi, memang berbeda dengan Inggit, yang tegas tidak mau dimadu, dan minta dicerai dulu, sebelum Bung Karno menikahi Fatmawati. Nah, sikap itu tidak pernah ditunjukkan Fatmawati kepada Bung Karno. Kesimpulannya, Fatmawati meninggalkan Bung Karno dalam status masih sebagai istri.

Bayangkan, baru satu contoh saja yang kita angkat, sudah begitu banyak dan panjang interpretasi yang bisa disuguhkan. Jika Anda seorang wanita anti-poligami, tentu punya pendapat sendiri. Jika Anda seorang pengkaji hukum-hukum Islam, tentu punya pendapat tersendiri tentang sikap Fatmawati kada Sukarno, suaminya. Jika Anda melihat dari disiplin yang lain lagi, sangat mungkin melahirkan pendapat yang juga berbeda.

Apa yang hendak saya simpulkan? Bahwa sebagai generasi penerus, kita harus mencoba melihat para tokoh pendahulu dengan lebih arif dan bijak. Terakhir, mengingat jasa-jasanya kepada nusa dan bangsa, terimalah para pahlawan itu dengan segala kelebihan dan kekurangannya. (roso daras)

Mata Najwa, Belajar dari Sejarah

Sekadar mengingatkan… malam ini pukul 22.05, acara Mata Najwa di Metro TV akan mengupas tema “Politik Mercusuar”. Saya menjadi salah satu nara sumber acara tersebut. Tema itu sungguh menarik, mengingat adanya kesenjangan informasi tentang hal-hal yang bersifat sejarah pemerintahan Bung Karno dengan era setelahnya.

Hampir semua rakyat Indonesia mengetahui Tugu Monas… demikian pula Masjid Istiqlal, dan tentu saja Gedung DPR-MPR RI. Akan tetapi, berani bertaruh, tidak sampai sepertiga rakyat Indonesia yang mengetahui detail sejarah pendiriannya. Bahkan, warga Ibukota Jakarta yang setiap hari hilir-mudik di jembatan Semanggi, melintasi Patung Dirgantarai (Pancoran), Patung Pak Tani, Tugu Selamat Datang di Bundaran HI, Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, dan masih banyak lagi situs lainnya, sangat sedikit yang memahami latar belakang sejarah berdirinya situs-situs tersebut.

Alhasil, topik mengupas situs-situs peninggalan Bung Karno dalam kemasan “Politik Mercusuar” di acara Mata Najwa Metro TV, Rabu 11 Mei pukul 22.05 nanti malam, menjadi moment penting dalam pembelajaran bersama tentang sejarah bangsa kita. Seperti berulang kali Bung Karno sering menegaskan, “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”… sebab bangsa yang melupakan sejarah, akan menjadi bangsa yang “vacuum”, bangsa yang akan berjalan di kegelapan tanpa lentera.

Istiqlal menyiratkan rasa bangga, rasa nasionalisme yang tinggi, dan tentu saja pembelajaran akan filosofi agama yang dalam. Tugu monas menggelorakan rasa persatuan dan respek terhadap perjuangan para pahlawan dalam merebut kemerdekaan. Gedung DPR yang dirancang sebagai gedung Conefo tahun 1966, adalah simbol kemandirian kita sebagai bangsa besar, yang tidak mau didikte oleh kekuatan asing mana pun. Jembatan semanggi adalah lambang persatuan, lambang ikatan persaudaraan yang membuat Indonesia bisa bersatu meski berbagai suku, beragam agama, budaya dan adat istiadatnya.

Nah, sekalipun hanya sekelumit, setidaknya Mata Najwa nanti malam sedia melambungkan nostalgi kita ke era kejayaan masa lalu. Mata Nanti malam akan memberi referensi yang sangat berarti bagi generasi penerus. (roso daras)

Published in: on 11 Mei 2011 at 06:21  Comments (8)  
Tags: , , , , ,

Gedung DPR sebagai Mercu Suar?

Kontroversi pembangunan gedung DPR RI di Senayan masih terus bergulir. Rencana pembangunan gedung wah itu, konon dianggarkan bakal menelan dana tak kurang dari Rp 1 triliun lebih sedikit. Tak urung, topik itu diangkat pula oleh produser acara Mata Najwa, Metro TV, Julius Sumant dalam bahasan tentang Politik Mercu Suar.

Alkisah… saya ketiban sampur untuk ikut berbicara tentang topik tersebut, dari kacamata persandingan politik mercu suar zaman Bung Karno, hingga era reformasi sekarang. Itu terjadi Kamis minggu lalu, ketika sang produser, Julius menghubungi dan berbicara tentang topik tersebut. Dari bincang-bicang singkat itu kemudian dia meminta saya Senin (18/4) datang ke studio Metro TV untuk rekaman talk show Mata Najwa.

Tentu saja saja antusias. Bukan saja karena bakal ketemu si Najwa yang cantik, lebih dari itu, karena topik itu memang sangat menarik. Terlebih ketika nama Bung Karno dibawa-bawa. Ada dorongan yang begitu kuat untuk menyampaikan kepada khalayak, bahwa sangat tidak sebanding, membandingkan proyek mercu suar gedung DPR RI saat ini dengan proyek-proyek monumental Bung Karno pada zamannya.

Gedung parlemen yang ada sekarang, dulu dibangun untuk menyongsong perhelatan Conefo (Conference of the New Emerging Forces), kekuatan negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara kapitalis yang sealiran, untuk menandingi hegemoni PBB. Terlebih bahwa PBB sebagai wadah bangsa-bangsa, selalu dan melulu dikuasai dua negara adi daya (ketika itu) Amerika Serikat dan Uni Soviet. Bung Karno memandang perlu ada wadah alternatif.

Proyek Conefo sama sekali bukan mercu suar dalam pengertian negatif. Dia benar-benar proyek yang dilandaskan pada filosofi tinggi tentang hakikat non-blok yang dicanangkan Bung Karno sejak awal. Indonesia tidak mau menghamba ke Barat, tidak juga menyembah ke Timur. Indonesia adalah negara besar, dengan penduduk yang besar, dan presiden yang besar, yang bisa menyatukan kekuatan negara-negara yang baru merdeka untuk bersatu menjadi satu kekuatan yang harus diperhitungkan.

Sedangkan yang sekarang? Ini proyek bodoh. Pertama, prosesnya tidak transparan. Timing-nya sangat tidak tepat, sehingga mencederai rasa keadilan rakyat banyak. Yang terakhir, tidak ada alasan yang kemudian bisa dijadikan tameng oleh pemerintah atau penggagas untuk menangkal suara-suara yang kontra.

Karena sesungguhnya banyak momen yang bisa dijadikan pemerintah untuk mebangun dignity, membangun kepercayaan rakyat, membangun kebanggaan rakyat berbangsa dan bernegara. Saya hanya menyebut satu contoh. Bahwa mungkin ceritanya akan beda, kalau saja proyek ini didesain sebagai gedung yang melambangkan perlawanan rakyat melawan korupsi. Caranya? Tindak tegas para koruptor, sita harta koruptor, termasuk pengemplang pajak. Jika itu serius dilakukan, mencari dana Rp 1 triliun lebih sedikit ibarat suwe mijet wohing ranti... yang artinya gampang sekali!

Dana hasil rampasan harta koruptor dan pengemplang pajak itulah yang kemudian dijadikan anggaran membangun gedung parlemen yang megah. Jika perlu desainnya bukan seperti huruf  “n” yang bisa diplesetkan jadi “nothing”… tapi bisa dibuat huruf “m” yang artinya “menang” atau huruf “v” yang diartikan victory, sebagai lambang kemenangan rakyat melawan koruptor.

Persoalannya memang, ide itu jauh dari otak mereka yang umumnya masih berjiwa koruptor. Karena, mereka (yang terlibat korupsi) tentu tidak mau kehilangan hartanya, bukan?

Baiklah, saya sambung di posting berikutnya. (roso daras)

Published in: on 19 April 2011 at 04:22  Comments (4)  
Tags: , , , , , ,