Cindy Adams, Pilihan Bung Karno

Waktu terus bergulir, sejak Dubes AS untuk Indonesia, Howard Jones mengajukan usul kepada Bung Karno untuk menuliskan biografinya. Tahunnya masih tahun 60-an. Pada pertemuan yang kesekian, Dubes Howard belum berputus-asa membujuk Bung Karno. Masih dengan alasan-alasan yang ia kemukakan dengan begitu serius dan sungguh-sungguh.

Tibalah saatnya Bung Karno menanggapinya dengan menyeringai, “Dengan satu syarat, saya mengerjakannya dengan Cindy Adams!” Howard kaget. Senang bercampur entahlah.

Rupanya, selang beberapa saat setelah pertemuan dengan Howard di Istana Bogor, Bung Karno bertemu dengan wartawan Amerika Serikat bernama Cindy Adams. Dia adalah istri dari pelawak Joey Adams, yang tengah memimpin misi kesenian Presiden Kennedy ke Asia Tenggara.

Selain cantik, Cindy adalah seorang penulis yang ceria, gemar berkelakar, dan… selalu berdandan rapi. Berbicara dengan Cindy, sangat menyenangkan Bung Karno. Dalam salah satu kesaksiannya ia mengatakan bahwa, “Orang Jawa selalu bekerja dengan insting. Seperti ketika saya mencari seorang press officer, kemudian bertemu dengan Rochmuljati, saya segera tahu, dialah yang saya cari, dan segera saya pekerjakan dia. Demikian pula dengan Cindy.”

Laksana menerima durian runtuh, Cindy menerima tugas itu dengan suka cita. Terlebih setelah tahu, bahwa sudah banyak penulis, baik dari dalam maupun luar negeri yang memohon-mohon menjadi penulis biografi Bung Karno, tetapi semua ditolak.

Sekalipun berkebangsaan Amerika Serikat, Bung Karno menilai Cindy dapat memahami dan merasakan denyut nadi bangsa Indonesia. Tulisan Cindy juga dinilai jujur dan dapat dipercaya. Pendek kata, Bung Karno begitu menyukai Cindy. Katanya, “Cindy adalah penulis yang paling menarik yang pernah kujumpai!”

Wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris. Bung Karno mengaku, sesekali membuat kesalahan dalam tata-bahawa, dan sering pula berhenti pada satu kalimat karena ia merasakan adanya kekakuan dalam kalimat yang ia utarakan. Begitulah wawancara terus mengalir dengan lancar hingga tersusunlah buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Kepada pembaca buku biografinya, Bung Karno juga memiliki pesan tersendiri.  Begini ia bertutur, “Kuminta kepadamu, pembaca, untuk mengingat bahwa, lebih daripada bahasa kata-kata yang tertulis adalah bahasa yang keluar dari lubuk-hati. Buku ini ditulis tidak untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapan hanyalah, agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia tercinta.” (roso daras)

Published in: on 18 Oktober 2010 at 10:40  Comments (14)  
Tags: , ,

Howard Jones Membujuk Bung Karno

Hari Minggu, tahun 60-an, Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia, Howard Jones bersama istrinya Marylou bertandang ke Istana Bogor. Di salah satu paviliun tempat Bung Karno – Hartini tinggal, Howard dan istri dijamu sarapan nasi goreng. Kebetulan, Howard senang sekali makan nasi goreng, apalagi spesial masakan Hartini.

Dalam salah satu obrolan, meluncurlah saran Howard kepada Bung Karno, agar bersedia menuliskan biografinya. “Tuan Presiden, saya kira sudah waktunya bagi Tuan untuk melihat kembali jalan-jalan dalam sejarah. Menurut pendapat saya sudah tepat waktunya bagi Tuan untuk menuliskan sejarah hidup Tuan,” begitu Howard mengajukan usulnya.

Ide itu sendiri, bukan untuk yang pertama mampir di telinga Bung Karno. Ketika itu, jawaban Bung Karno juga sama seperti ketika ia menjawab usul-usul serupa sebelumnya. “Tidak. Insya Allah, jika Tuhan mengizinkan, saatnya masih 10 atau 20 tahun lagi. Siapa yang dapat menceritakan bagaimana jalannya kehidupan saya? Itulah sebabnya mengapa saya selalu menolak hal ini, karena saya yakin bahwa buruk-baiknya kehidupan seseorang hanya dapat dipertimbangkan setelah ia mati.”

Howard tidak menyerah. Ia mengatakan, “Terkecuali Presiden Republik Indoneia. Di samping telah menjadi Kepala Negara selama 20 tahun, ia telah dipilih sebagai presiden seumur hidup. Ia adalah orang yang paling banyak diperdebatkan dan dikritik di zaman kita ini. Ia…,” belum selesai Howard bertutur, Bung Karno menyambar, “…. ya… saya menyimpan banyak rahasia.”

Tapi toh Bung Karno masih mengelak. Sejurus dengan itu, Howard juga tidak berhenti merayu. Dikatakan ihwal perlunya Bung Karno menuliskan biografinya, agar dunia mengetahui. Bung Karno perlu menuang tentang sejarah dirinya agar segala kontroversi bisa diakhiri. “Tuan tidak bisa mendatangi sendiri seluruh rakyat di dunia, akan tetapi Tuan dapat datang kepada mereka melalui halaman-halaman buku. Tuan adalah ahli pidato terbesar setelah William Janmings Bryan. Tuan menawan hati sejuta pendengar di lapangan terbuka. Mengapa Tuan tidak menghendaki jumlah pendengar yang lebih besar lagi?”

Percakapan dilanjutkan hingga keduanya menutup sarapan dan makan pisang rebus kesukaan Bung Karno. Tema obrolan masih seputar biografi. Bagaimana Bung Karno bertahan untuk menunda, dan bagaimana Howard Jones bertahan untuk menyegerakannya. Setidaknya, Bung Karno untuk pertama kalinya mau meladeni seseorang berbicara tentang biografinya secara panjang lebar. Pengalaman-pengalaman terdahulu, ia hanya menolak. Dan ketika didesak, ia akan marah.

Ada satu kisah yang bisa menggambarkan hal itu. Adalah Rochmuljati Hamzah, staf presiden yang mengurusi pers. Suatu ketika, tahun 1960, ia didamprat Bung Karno, karena sebab yang sama. Saat kunjungan Kruschev ke Jakarta, banyak wartawan asing datang meliput. Suatu saat, Roch memberanikan diri mengajukan saran, “Maaf Pak. Bapak jangan marah, karena kami sendiri pun tidak mengetahui sejarah hidup Bapk. Dan Bapak sedikit sekali memberikan wawancara. Oleh karena itu, dapatkah Bapak menentramkan hati saya barang sedikit, dan menerima seorang wartawan CBS yang ramah sekali dan ingin menulis riwayat hidup Bapak.”

Bun Karno berpaling dan menyembur, “Berapa kali aku harus mengatakan kepadamu, T-I-D-A-K!! Pertama, aku tidak mengenalnya, akan tetapi kalau aku pada suatu saat menulis riwayat hidupku, aku kan kerjakan dengan seorang perempuan. Sekarang jauh-jauhilah dari penglihatanku. Engkau seperti pesuruh wartawan asing saja!” Roch pun berlari keluar dan pulang….

Pasca kejadian itu, tak lama berselang, Bung Karno menyesal. Ia menyuruh ajudan menghubungi Roch dan menjemputnya menghadap. Roch datang mengira bahwa ia akan menerima semprotan yang lain lagi, tapi sebaliknya, Presidennya hendak minta maaf. “Maafkan aku, Roch,” kata Bung Karno pertama-tama, “Kadang-kadang aku berteriak dan menyebut nama-nama buruk, akan tetapi sebenarnya akulah itu. Jangan masukkan kata-kata itu dalam hatimu. Kalau aku meradang, itu berarti aku mencintaimu. Aku menyemprot kepada orang-orang yang terdekat dan paling kusayangi. Hanya mereka yang menjadi papan suaraku.”

Usai meminta maaf, Bung Karno mencium pipi Roch, cara yang biasa ia lakukan sebagai salam pertemuan dan perpisahan dengan anak-anak perempuan sekretarisnya. Roch pun tersenyum, dan pergi denan hati yang senang sekali. Itu hanya contoh kecil yang Bung Karno katakan sebagai, “persoalan-persoalan Asia harus diselesaikan dengan cara Asia….” (roso daras)

 

Published in: on 10 Oktober 2010 at 07:39  Comments (5)  
Tags: , ,

Bung Karno, Perpaduan Roosevelt dan Clark Gable

Suatu pagi di tahun 60-an… sebuah mobil kedutaan meluncur menuju kota hujan Bogor. Di dalamnya, berisi Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Howard Jones dan istrinya, Marylou. Howard Jones adalah satu di antara sedikit orang Amerika Serikat pada zamannya, yang mengerti dan memahami Sukarno. Kebetulan pula, ia adalah Ketua Koprs Diplomatik di Indonesia.

Hubungannya dengan Bung Karno cukup dekat. Kunjungan Howard dan istrinya ke Bogor, disusul acara makan-makan bersama di paviliun kecil samping Istana, adalah salah satu bukti kedekatan mereka. Bung Karno mengatakan, antara dirinya dan Howard, sering terlibat perdebatan-perdebatan sengit dan pahit. Meski begitu, di antara keduanya justru tumbuh benih persahabatan, sehingga Bung Karno menyebut Howard sebagai “kawan tercinta”.

Howard sendiri menilai pribadi Bung Karno dengan ungkapan, “Suatu perpaduan antara Franklin Delano Roosevelt dan Clark Gable.” Tentu itu suatu komplimen luar biasa. Roosevelt adalah salah satu presiden paling berpengaruh di Amerika Serikat. Sedangkan Clark Gable adalah aktor tampan Hollywood yang juga digilai para wanita. Tentu saja Bung Karno sangat senang dengan persandingan itu.

Selagi di meja makan, Bung Karno berdampingan dengan Marylou, dan Howard Jones didampingi Hartini, meluncurlah ide Howard, “Tuan Presiden, saya kira sudah waktunya untuk melihat kembali jalan-jalan sejarah. Menurut pendapat saya sudah tepat waktunya bagi Tuan untuk menuliskan sejarah hidup.”

Bagi Bung Karno, sejatinya ide itu bukan yang pertama ia dengar. Dan seperti ketika ia mendengar ide serupa sebelum-sebelumnya, maka ia pun tidak punya jawaban lain, kecuali, “Tidak. Insya Allah, jika Tuhan mengizinkan saatnya masih 10 atau 20 tahun lagi.” Meski begitu, intinya adalah, Bung Karno merasa, tidak ada yang bisa menceritakan diri pribadinya, karena itulah ia selalu menolak. Sebab, menurut Bung Karno, baik-buruk catatan sejarah manusia hanya dapat dipertimbangkan setelah yang bersangkutan mati.

Howard tidak menyerah. Ia menyebut, pengecualian bagi Bung Karno. Seorang presiden yang ketika itu sudah berkuasa selama 20 tahun, dan paling banyak diperdebatkan dan dikritik di zamannya. Terlalu banyak rahasia tersimpan pada diri Sukarno, sehingga dunia perlu mengetahui sosok Bung Karno.

Sosok sebagai presiden, kepala negara, dan orator ulung… sekaligus pecinta sejati. Pemimpin yang kharismatik, sekaligus flamboyan. Sampai tahap ini, Bung Karno masih belum bersedia. Tetapi, kisah ini memang belum berakhir di sini. Howard Jones terus dan terus meyakinkan Bung Karno dalam satu format dialog yang begitu akrab namun berkelas. (roso daras)

Published in: on 24 September 2010 at 06:37  Comments (2)  
Tags: , , ,