Lagi-lagi tentang dua istri Bung Karno (di antara istri-istri yang lain). Ini tentang Fatmawati dan Hartini. Jika dirunut, Fatmawati adalah istri ketiga, setelah menceraikan Utari dan bercerai dengan Inggit. Sedangkan Hartini adalah istri keempat, yang dinikahi Bung Karno kurang lebih sembilan tahun setelah menikahi Fatmawati.
Tapi dalam standar kenegaraan, kita menyebut Fatma sebagai istri pertama, dan Hartini sebagai istri kedua. Konteksnya jelas, dihitung sejak Bung Karno menjabat Presiden Republik Indonesia. Sebab, Utari dan Inggit dinikahi zaman pra kemerdekaan. Alhasil, dalam posisi sebagai Kepala Negara, keputusan poligami yang diambil Bung Karno sungguh menghebohkan.
Tak heran jika kemudian berbagai reaksi bermunculan. Bung Karno bahkan dikecam, baik langsung maupun sembunyi-sembunyi oleh para pihak yang tidak setuju. Di kelompok ini, bercokol para tokoh perempuan pada eranya. Puncak gerakan itu terjadi Juli 1953, menunggangi isu yang mereka gulirkan, yakni mendorong lahirnya Undang Undang Perkawinan yang di dalamnya mengandung pasal anti-poligami.
Bung Karno mengistilahkan mereka sebagai perempuan-perempuan Islam yang mencoba-coba hendak “membantu” Nabi Muhammad dengan cara mengubah peraturannya. Bayangkan, di tengah kecamuk itulah Bung Karno mbedudu, terus melaju mengawini Hartini.
Kehebohan pun menyeruak. Lagi-lagi Bung Karno menanggapinya ringan saja. Mereka dinilai sebagai para wanita yang khawatir kedudukannya sebagai penguasa rumah tangga akan tergoncang jika poligami dibiarkan. Maka, berbondong-bondonglah mereka ke Istana mendemo presidennya. Sikap mereka yang seperti gerombolan perempuan yang siap berkelahi itu, sungguh membuat Bung Karno susah hati, prihatin. Terlebih ketika media massa menjalankan fungsi “kompor” dan makin mengobarkan api yang sudah berkobar-kobar.
Bung Karno jauh dari reaktif. Apalagi yang didemo sama sekali bukan kebijakan negara. Demo protes itu lebih kepada aksi kelompok terhadap pribadi Sukarno. Maka, sebaik-baiknya sikap Bung Karno adalah memendam amarah dan kejengkelan yang menonjok-nonjok urat kesabarannya. Sebaliknya, Bung Karno juga enggan membuat mereka terluka. Karenanya, Bung Karno kemudian menghindarkan diri sekuat tenaga dari protokoler negara yang berhubungan dengan masalah tersebut.
Sebagian dari demonstran itu menolak wanita lain selain Fatmawati sebagai First Lady Republik Indonesia, sebagai Ibu Negara. Bung Karno sendiri tidak memaksakan salah satu di antara Fatma dan Hartini sebagai Ibu Negara. Sebab faktanya, Fatma sendiri langsung meninggalkan Istana dan pindah ke rumah Kebayoran Baru. Dengan arif pula, Bung Karno meminta Fatma berdiam di Jakarta, sedangkan Hartini menempati sebuah paviliun kecil di Istana Bogor.
Dan… bila Presiden Sukarno melakukan perlawatan ke luar negeri, dengan bijaksananya ia memilih untuk pergi sendiri. (roso daras)