Universitas Kokushikan Tokyo Gelar Simposium Bung Karno

20161103_094345

Pagi itu, suasana kampus Universitas Kokushikan, di Setagaya, Tokyo – Jepang, mulai pikuk, ketika rombongan Puti Guntur Soekarno tiba, Kamis (3/11). Mahasiswa dan masyarakat berkumpul di halaman kampus dalam pelaksanaan sebuah festival tradisional yang diperingati tiap tahun.

Rektor dan pejabat kampus antusias menyambut kehadiran Puti Guntur yang hari itu didampingi bapaknya, Guntur Soekarnoputra dan istri, Henny. Nama Guntur dan Puti, begitu lekat di kampus bersejarah ini. Terlebih, ini bukan kali pertama Puti hadir.

Tahun lalu, di kampus yang sama, dalam rangka peresmian “Soekarno Research Center”, Puti hadir dan membawakan pidato kebudayaan, “Pancasila Bintang Penuntun”. Kali ini, kehadiran Puti pun sejalan dengan program Pusat Studi Asia-Jepang, Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Kokushikan, yakni simposium internasional mengenai Soekarno, yang berjudul “Merefleksikan Pemikiran Soekarno dari Masa Kini Abad ke-21”.

Sebelum menuju aula di kampus lantai tiga, Puti dan rombongan diterima Rektor Prof Keiichi Sato, PhD dan Direktur Pusat Studi Asia-Jepang, Tokubumi Shibata, yang merupakan cucu pendiri Universitas Kokushikan, Tokujiro Shibata. Hadir juga Kepala Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, Prof Masami Hiraishi.

Usai beramah-tamah, Puti dan rombongan diiringkan berjalan kaki, menapaki kampus Kokushikan yang luas, menuju tempat acara di sebuah bangunan lima lantai. Acara simposium itu sendiri digelar di lantai tiga. Tepat pukul 09.00, simposium dibuka, diawali sambutan-sambutan dari pihak universitas.

Rektor Keiichi Sato menceritakan ihwal hubungan Kokushikan dengan Indonesia. Tersebutlah pasca Konferensi Asia Afrika 1955, Bung Karno memperkuat solidaritas bangsa-bangsa Asia-Afrika, antara lain dengan menggelar Games of New Emerging Forces (Ganefo) 1962. Jepang yang hadir pada KAA termasuk yang diundang dalam Ganefo. Akan tetapi, demi menjaga perasaan Barat, pemerintah Jepang tidak mengirimkan atlet. Akan tetapi, Universitas Kokushikan-lah yang mengirimkan atlet dan mendapatkan medali pada cabang judo. Ini adalah keputusan penting dari pendiri Universitas Kokushikan, Tokujiro Shibata yang memang dari awal fokus pada persoalan Asia.

Rektor Sato yang sudah tiga kali berkunjung ke Indonesia, tak habis-habis memuji. Indonesia yang dikatakannya “fitur ideal dunia”. Negara dengan keragaman suku, adat-istiadat, budaya, dan bahasa. Bahasa Jawa adalah paling dominan di antara suku yang lain. Akan tetapi, Presiden Sukarno tidak menjadikan bahasa Jawa sebagai bahasa nasional.

Juga tentang agama. Bangsa Indonesia 88 persen Islam, tetapi Bung Karno tidak menjadikan Islam sebagai agama negara. Negara menjamin warganya memeluk agama dan kepercayaan masing-masing. Inilah warisan berharga dari Sukarno. “Bisa dikatakan, Indonesia mempraktekkan salah satu model ideal perdamaian dunia,” ujar Rektor Sato.

bonnie-triyana-dan-prof-dadan-umar-daihani

Pada kesempatan berikut, Direktur Pusat Studi Asia-Jepang, Tokubumi Shibata juga menyebut Bung Karno sebagai tokoh besar yang meninggalkan gagasan berharga untuk kerjasama dan keharmonisan Asia dan dunia. Ketidakharmonisan dunia yang cenderung tampak jelas akhir-akhir ini, memerlukan kebijaksanaan Timur untuk menyelesaikannya. “Saya berpikir bahwa Presiden Sukarno sudah melihat dan memberikan jawabannya sejak 70 tahun lalu,” ujar Shibata yang juga Ketua Soekarno Research Center.

Sambutan ketiga diberikan Kepala Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, Prof Masami Hiraishi. Ia berterima kasih kepada Puti, di tengah kesibukannya sebagai Anggota DPR RI, masih berkenan menyisihkan waktu hadir dan memberi kuliah umum, sekaligus menerima penyerahan gelar sebagai profesor tamu di Jurusan Ilmu Politik, Pascasarjana Universitas Kokushikan.

Lebih lanjut Prof Hiraishi memprihatinkan, akhir-akhir ini terjadi kecenderungan kita memilih kehidupan modern dengan membuang kehidupan tradisional. Padahal, modernitas tidak selalu benar, melainkan harus dengan melihat masa lalu. Nah, simposium yang digelar hari itu, menghadirkan dua peneliti dari Indonesia dan dua peneliti dari Jepang. “Masing-masing memiliki sudut pandang berbeda, tentu menjadi sesuatu yang sangat menarik sebagai bahan kajian ilmiah kita bersama,” katanya.

Dan benar, simposium hari itu, selain diisi pidato utama Puti Guntur Soekarno yang berjudul “Pancasila Menuju Tata Dunia Baru”, juga diisi dua pembicara Indonesia. Mereka adalah Pemimpin Redaksi Majalah Historia, Bonnie Triyana dan Prof  Dadan Umar Daihani dari Universitas Trisakti, Jakarta. Dari Jepang hadir dua pembicara: Kaoru Kochi, dosen Universitas Tokyo dan Prof Masakatsu Tozu, profesor kehormatan Universitas Kokushikan.

Bonnie Triyana sebagai pemateri pertama, membawakan makalah “Mencari Sukarno Sejati”. Ia menyorot sosok Sukarno dari catatan buku sejarah Indonesia, sejak Orde Baru hingga saat ini. Bonnie banyak mengupas praktek desukarnoisasi yang dilakukan rezim pengganti Sukarno. Sementara itu, Prof Dadan membawakan makalah “Bung Karno: Dunia Pendidikan dan Peradaban Bangsa”. Alumni ITB ini banyak menyorot pentingnya pendidikan bagi pembentukan karakter bangsa. Presentasi Dadan banyak menampilkan foto-foto dan kutipan-kutipan kalimat Bung Karno yang monumental, dan mampu membuat suasana simposium menjadi hangat.

prof-kochi-dan-prof-tozu

Dua pembicara Jepang, memotret Bung Karno dari sudut pandang berbeda. Prof Masakatsu Tozu misalnya, mengangkat topik “Politik Nasionalisme Soekarno dan Batik: Penciptaan Budaya Nasional di Indonesia”. Profesor yang pernah mendalami batik di Indonesia ini, mengaku sebagai pemilik koleksi batik paling lengkap di dunia. Ia mengagumi Bung Karno, yang berhasil menjadikan batik yang identik dengan “milik” sebagian masyarakat Jawa, menjadi identitas nasional. Ia menganggap itu satu-satunya di dunia.

Sedangkan, dosen Universitas Tokyo, Kaoru Kochi membawakan makalah “Hubungan Indonesia-Jepang dan Kajian Mengenai Soekarno di Jepang”. Ia menyandingkan perjalanan sejarah panjang antara Indonesia dan Jepang, sejak era pra kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Satu hal yang ditegaskan Kochi adalah, perhatian akademisi Jepang terhadap Indonesia makin meningkat, setelah Bung Karno sukses menggelar Konferensi Asia Afrika, 1955. Dan itu terus berlangsung hingga saat ini.(roso daras)

Guntur Bicara Bung Karno di Tokyo

img-20161103-wa0048Kapan terakhir kali Anda mendengar Guntur Soekarnoputra berbicara tentang bapaknya? Dalam forum resmi, tidak pernah. Dus, bisa jadi, inilah kali pertama, Guntur bicara tentang bapaknya di forum resmi. Forum simposium mengenai Sukarno, yang digelar Universitas Kokushikan, Tokyo, 3 November 2016.

Hari itu, Pusat Studi Asia-Jepang, Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Kokushikan mengelar simposium dengan pidato utama oleh putri tunggalnya, Puti Guntur Soekarno. Selain mendengarkan pidato Puti, simposium juga menghadirkan empat pembicara: Dua dari Indonesia dan dua dari Jepang.

Dari Indonesia, tampil Bonnie Triyana (Majalah Historia) dengan topik “Mencari Sukarno Sejati”, dan Prof Dr Dadan Umar Daihani (Universitas Trisakti Jakarta) dengan topik “Bung Karno: Dunia Pendidikan dan Peradaban Bangsa”. Sedangkan dari Jepang, tampil Prof Masakatsu Tozu (profesor emeritus Universitas Kokushikan) dengan makalah “Politik Nasionalisme Soekarno dan Batik: Penciptaan Budaya Nasional di Indonesia”, serta Kaoru Kochi (Dosen Universitas Tokyo) yang mengangkat topik “Hubungan Indonesia – Jepang dan Kajian Mengenai Soekarno di Jepang”.

Kurang dari dua jam, empat pembicara pun selesai menyampaikan presentasinya. Hingga tanya-jawab berlangsung, tampak Guntur, tetap tekun mengikuti. Dalam usia yang 72 tahun, bisa dibilang, Guntur sangat antusias dengan simposium hari itu.

Di pengujung acara tanya-jawab, tiba-tiba ia mengangkat tangan tinggi-tinggi. Spontan hadirin terhenyak. Tak kurang dari moderator, Tokubumi Shibata yang tak lain adalah Direktur Pusat Studi Asia-Jepang, Universitas Kokushikan, sekaligus cucu dari pendiri universitas tersebut, Tokujiro Shibata.

Bergegas petugas mengantarkan mic ke hadapan Guntur. Sempat agak susah-payah bangun dari sofa yang didudukinya di deret paling depan. Begitu berdiri, ia langsung melancarkan tanggapan atas keempat pembicara.

Yang pertama ditanggapi adalah Bonnie Triyana. Bonnie yang antara lain mengupas usaha desukarnoisasi oleh presiden Soeharto, menyinggung tentang penempatan sosok Sukarno dalam era Orde Baru yang ditenggelamkan. Dimulai dari tudingan, baik langsung maupun tak langsung, oleh Orde Baru kepada Bung Karno sebagai tokoh yang terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Guntur menanggapi khusus pada penggalan “tudingan bapaknya terlibat G-30-S”. “Itu sama sekali salah. Saya tegaskan sekali lagi, tudingan itu tidak betul!” ujar Guntur lantang. Putra sulung Bung Karno itu lantas mengoreksi istilah G-30-S dengan Gestok (Gerakan Satu Oktober). Sebuah gerakan yang terjadi karena adanya oknum-oknum baik di tubuh PKI maupun di tubuh Angkatan Darat, serta adanya intervensi asing.

Gerakan mahasiswa yang dimotori Angkatan Darat, adalah satu gerakan masif, terstruktur dan berbiaya besar. Amerika Serikat berada di belakang gerakan penjatuhan Bung Karno. “Jadi ini sekaligus menegaskan dan melusurkan sejarah. Bagaimana mungkin Bung Karno yang saat itu masih berkuasa, dituding melakukan aksi makar yang itu artinya menggulingkan dirinya sendiri?” ujar Guntur yang berbicara sambil berdiri.

guntur-soekarnoputra

Tanggapan kedua diberikan kepada pembicara kedua, Prof Dr Dadan Umar Daihani. Guntur mengawali dengan intermezo kepada Dadan yang sama-sama lulusan ITB. Kampus yang kebetulan sama dengan kampus Bung Karno menyelesaikan pendidikan insinyurnya. “Kita sama-sama ITB kan? Berarti semboyan kita sama, In Harmonia Progressio….” Prof Dadan tertawa dan mengangguk-angguk.

Selanjutnya Guntur masuk ke materi presentasi Dadan, yang menyoroti pentingnya aspek pendidikan. Mas Tok, begitu ia akrab disapa, mengatakan, bahwa benar pendidikan itu penting. Tetapi ada yang lebih penting dari sekadar pendidikan, yaitu pendidikan karakter bangsa, nation and character building. Bung Karno melakukan itu kepada bangsa Indonesia. Sehingga meski dalam usia muda dan baru merdeka, bangsa Indonesia bisa segera bangkit dari bangsa inlander menjadi bangsa yang memiliki kepercayaan diri tinggi.

Nah, dalam politik, yang tidak kalah penting adalah pembangunan jaringan dan kekuatan. Bung Karno sering mengistilahkan dalam gerakan politiknya dengan istilah machtsvorming, atau pembentukan kuasa atau kekuatan. Dalam konteks politik dunia, Bung Karno lantas melakukannya dengan menghimpun negara-negara Asia-Afrika menjadi sebuah kekuatan untuk mencapai tujuan bersama. Ketika itu, tahun 1955, bangsa-bangsa Asia dan Afrika ditambah Amerika Latin, berhimpun dan menjadi sebuah kekuatan baru di antara hegemoni Barat dan Timur.

Selain itu, Guntur juga menyinggung soal hakikat kemerdekaan. Hakikat inti dari kemerdekaan sebuah bangsa adalah Trisakti, yang lagi-lagi merupakan ajaran Bung Karno. Berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkebudayaan yang berkepribadian. Mari kita lihat, apakah Indonesia sudah merdeka? Kalau pengertiannya berhasil menjadi negara dan lepas dari penjajahan, mungkin jawabnya sudah. Tetapi apakah sudah berhasil menjalankan Trisakti? “Belum,” kata Guntur menjawab pertanyaannya sendiri.

Karena itu, Trisakti harus terus diperjuangkan. Bukan hanya oleh bangsa Indonesia, tetapi oleh seluruh bangsa di dunia. Sebab, esensi merdeka ya Trisakti itu, kata Guntur.

guntur-s

Cukup lama Guntur berbicara. Menyadari waktu yang telah ia pakai, Guntur segera bertanya kepada audiens. “Apakah bosan mendengarkan saya bicara? Yang bosan tunjuk tangan,” katanya. Audiens yang mengerti bahasa Indonesia spontan mengatakan, “Tidak!” Tetapi bagi yang tidak paham bahasa Indonesia diam… dan baru menjawab “Tidak” setelah penerjemah mengartikan kata-kata Guntur.

Maka, Guntur pun melanjutkan tanggapannya. Kali ini ia menyorot Prof Tozu. “Bicara kesana kesini, ujung-ujungnya ke batik juga,” kata Guntur disambut tawa hadirin. “Tapi, dia memang begitu. Sejak kenal saya, kalau ke Jakarta, saya ajak makan, saya ajak ngobrol. Tapi obrolannya ya berakhir ke masalah batik. Karena itu, sudahlah, saya tidak akan banyak komentar kepada profesor ahli batik yang satu ini,” kata Guntur, lagi-lagi disambut tawa hadirin.

Terhadap pembicara terakhir, Kochi, Guntur mengutip kalimat, “Bung Karno benci kepada Amerika Serikat”. Untuk kalimat itu, Guntur menanggapi, “Bung Karno tidak benci kepada Amerika Serikat. Bung Karno hormat, cinta, dan bersahabat dengan rakyat Amerika Serikat. Yang Bung Karno benci adalah pemerintahannya. Ini pun ada kisahnya.”

Guntur mengisahkan pada satu masa, di mana Indonesia membutuhkan bantuan. Bantuan yang tidak lain adalah utang luar negeri. Pada saat itu, Amerika Serikat bersedia mengulurkan bantuan (baca: utang), tetapi dengan syarat-syarat politik. “Nah, dalam rangka teguh pada pendirian Trisakti itulah, Bung Karno menolak mentah-mentah bantuan yang bersyarat. Keluarlah kata-kata Bung Karno yang terkenal, go to hell with yor aid,” Guntur mengucapkan kalimat terakhir dengan nada bergetar. Hadirin pun bertepuk tangan.

Yang terakhir ditegaskan Guntur adalah mengenai ideologi Bung Karno. “Ideologi Bung Karno bukan Pancasila, bukan Islam. Ideologi Bung Karno adalah marhaenisme,” tegas Guntur. Bung Karno beranggapan, pisau analisa tajam dalam ideologi yang digunakannya ada tiga. Pertama, historis-materialistis; kedua, geopolitik; dan ketiga tentang psikologi massa. “Adonan, atau jladren dari ketiga pisau analisa itulah yang digunakan Bung Karno dalam kebijakan politik, sosial, dan budaya,” tandasnya.

Karena itulah, Bung Karno pernah mengatakan, “Di dalam cita-cita politikku, aku adalah seorang nasionalis. Di dalam cita-cita sosialku, aku adalah seorang sosialis. Dan di dalam cita-cita sukmaku, aku sama sekali theis. Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa,” tegas Guntur sekaligus mengakhiri tanggapannya yang panjang.

Usai berbicara, panitia memberi kejutan pemberian karangan bunga kepada Guntur, yang hari itu 3 November, berulang tahun ke-72. Penyerahan bunga diserahkan oleh salah seorang mahasiswa Universitas Kokushikan, program studi Indonesia, diiringi nyanyian lagi “Happy Birthday”. (roso daras)

Jpeg

Di Balik Layar Proklamasi

IMG-20160816-WA0065

Narasumber “Di Balik Layar Proklamasi”, Mata Najwa, Rabu (17/8), pk. 20.00.

 

Najwa Shihab, host Mata Najwa (Metro TV) kembali mengangkat tema Proklamasi pada tayangan Rabu, 17 Agustus 2016 pukul 20.00 WIB. Tema yang diusung adalah “Di Balik Layar Proklamasi”. Acara berdurasi sekitar 90 menit itu, menyajikan tiga segmen dengan narasumber yang berbeda di tiap segmennya.

Segmen pertama, menghadirkan koleksi belasan foto detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur 56 Jakarta Pusat yang belum banyak, atau bahkan belum pernah dipublikasikan. Pembawa foto-foto bersejarah itu adalah fotografer kawakan dari KLBN Antara, Oscar Motuloh, dan diulas oleh sejarawan JJ Rizal.

Pada segmen kedua, Nana –sapaan akrab Najwa Shihab– mengundang narasumber dua putri pemuda revolusioner, Soekarni dan Wikana. Dua tokoh pemuda yang punya andil bersama pemuda revolusioner lain “menculik” Bung Karno, Bung Hatta, Fatmawati, dan Guntur Soekarnoputra ke Rengasdengklok. Sebagai pengulas, sejarawan yang juga pemimpim redaksi majalah sejarah populer Historia, Bonne Triyana.

Sedangkan, pada segmen ketiga, tampil dua narasumber: Puti Guntur Soekarno dan Roso Daras. Kepada Puti, Nana banyak mengulik kesan-kesan Puti sebagai cucu Bung Karno, serta nilai-nilai yang tersemai dari ajaran sang kakek melalui ayahanda, Guntur Soekarnoputra. Sedangkan Roso Daras, banyak berkisah tentang sisi lain dari Bung Karno yang belum banyak diketahui khalayak. (roso daras)

IMG-20160816-WA0066

IMG-20160816-WA0031