Mengapa Bung Karno dan Bung Hatta disebut “dwi-tunggal”? Dua dalam satu? Lebih karena keduanya adalah simbol bangsa yang sama-sama anti terhadap kolonialisme, dan sama-sama berjuang untuk melepaskan diri dari penjajah. Sejarah pun kemudian mencatatkan kedua nama itu sebagai Pahlawan Proklamator. Ya, proklamator kemerdekaan Indonesia dari penguasaan penjajah.
Apakah “dwi-tunggal” harus identik dengan kesamaan dalam segala hal? Sama sekali tidak! Bung Karno dan Bung Hatta, bila mau dikiaskan dalam bahasa yang hiperbolis, barangkali ibarat siang dan malam, ibarat langit dan bumi, ibarat hitam dan putih. Antara siang dan malam, ada temaram senja mengiring sun-set yang indah. Antara langit dan bumi, ada cakrawala horison yang melambungkan imajinasi siapa saja yang menatapnya. Antara hiam dan putih, ada abu-abu sebagai sebuah misteri yang sungguh misterius.
Bung Karno dan Bung Hatta, sejatinya adalah dua pribadi yang sama-sama kuat. Dua karakter yang sama-sama menonjol. Jika kemudian mereka bersatu, tidak ada kekuatan apa pun bisa menghadang. Pertautan keduanya, terjalin sejak zaman pra kemerdekaan, hingga keduanya memuncaki pemimpin bangsa sebagai presiden dan wakil presiden, serta akhirnya “berpisah”, karena Hatta kemudian mundur dari jabatan Wapres, dan Bung Karno tak sudi menggantikan posisi Hatta dengan kader bangsa mana pun.
Sebagai dua pejuang dengan latar belakang intelektualitas berkadar tinggi, tentus saja yang namanya perdebatan dan perselisihan pendapat adalah sebuah keniscayaan bagi keduanya. Pendek kata, dalam rangka mempertahankan prinsip, keduanya sama-sama kuat. Perbedaan mereka bahkan sampai pada tahap menyepakati untuk berpisah dan memakai jalan masing-masing dalam sama-sama berjuang menuju Indonesia merdeka. Bung Hatta dengan konsep mendidik rakyat untuk melek politik terlebih dulu…. Bung Karno langsung menggalang kekuatan rakyat untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah bedebah.
Akan tetapi, di luar itu semua, keduanya sungguh dua manusia biasa. Dua manusia dengan perasaan yang begitu normal. Mereka juga bercanda dengan sangat intim. Bahkan Bung Karno sendiri yang melamarkan Rahmi untuk bersedia diperistirkan Hatta yang ketika itu, dalam usia sudah berkepala 4 tetapi belum juga menikah. Masih banyak aspek-aspek manusiawi lain yang terjalin dengan begitu kuat di antara keduanya. Bahkan, di detik-detik menjelang kematiannya, Bung Karno, dalam kondisi tak lagi berdaya… hanya bisa mengucap kata, “Hat…ta…” saat melihat sahabatnya itu datang mengunjunginya. Tangan keduanya saling menggenggam, mata mereka beradu pandang, mulut terkunci, air mata keduanya beruraian.
Nah, jalinan yang begitu kokoh antara keduanya, pernah hampir dirusak oleh tangan-tangan laknat, yang besar kemungkinan antek penguasa rezim Orde Baru. Dalam buku biografi “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” tulisan Cindy Adams keduanya hendak dicerai-beraikan dengan menambahan alinea yang lebih dari sekadar biadab. Selain manipulatif, juga sangat provokatif. Berikut kutipannya:
“Tidak ada yang berteriak ‘Kami menghendaki Bung Hatta’. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi…. Sebenarnya aku dapat melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peran Hatta dalam sejarah tidak ada”.
“Peranannya yang tersendiri selama perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarno-lah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan ‘pemimpin’ ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatera dan di hari-hari yang demikian aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesdar di Indonesia”.
Dua alinea di atas, sungguh mengesankan sosok Bung Karno yang arogan. Bung Karno yang SARA. Bahkan kalimat itu sempat menjadi referensi sejumlah tokoh bangsa kita seperti Prof Dr Ahmad Sjafii Maarif. Beruntung, seperti berulang saya sitir, bahwa sejarah senantiasa akan mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri.
Syahdan, tahun 2007, Syamsul Hadi sang penerjemah menemukan bahwa kedua alinea tersebut tidak ada dalam buku edisi bahasa Inggris (edisi asli yang ditulis Cindy Adams). Sejarawan Asvi Marwan Adam pun menduga dalam bukunya, bahwa ada orang yang sengaja menambahkan dua paragraf yang mengadu domba antarpemimpin Indonesia itu. Siapa durjana itu?
Syukurlah, biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang diterbitkan ulang tahun 2007, kedua alinea hasil rekayasa tangan laknat itu telah dihapuskan. (roso daras)