Waspadalah… Waspadalah…!!!

biografi BK Cindy Adams

Mengapa Bung Karno dan Bung Hatta disebut “dwi-tunggal”? Dua dalam satu? Lebih karena keduanya adalah simbol bangsa yang sama-sama anti terhadap kolonialisme, dan sama-sama berjuang untuk melepaskan diri dari penjajah. Sejarah pun kemudian mencatatkan kedua nama itu sebagai Pahlawan Proklamator. Ya, proklamator kemerdekaan Indonesia dari penguasaan penjajah.

Apakah “dwi-tunggal” harus identik dengan kesamaan dalam segala hal? Sama sekali tidak! Bung Karno dan Bung Hatta, bila mau dikiaskan dalam bahasa yang hiperbolis, barangkali ibarat siang dan malam, ibarat langit dan bumi, ibarat hitam dan putih. Antara siang dan malam, ada temaram senja mengiring sun-set yang indah. Antara langit dan bumi, ada cakrawala horison yang melambungkan imajinasi siapa saja yang menatapnya. Antara hiam dan putih, ada abu-abu sebagai sebuah misteri yang sungguh misterius.

Bung Karno dan Bung Hatta, sejatinya adalah dua pribadi yang sama-sama kuat. Dua karakter yang sama-sama menonjol. Jika kemudian mereka bersatu, tidak ada kekuatan apa pun bisa menghadang. Pertautan keduanya, terjalin sejak zaman pra kemerdekaan, hingga keduanya memuncaki pemimpin bangsa sebagai presiden dan wakil presiden, serta akhirnya “berpisah”, karena Hatta kemudian mundur dari jabatan Wapres, dan Bung Karno tak sudi menggantikan posisi Hatta dengan kader bangsa mana pun.

Sebagai dua pejuang dengan latar belakang intelektualitas berkadar tinggi, tentus saja yang namanya perdebatan dan perselisihan pendapat adalah sebuah keniscayaan bagi keduanya. Pendek kata, dalam rangka mempertahankan prinsip, keduanya sama-sama kuat. Perbedaan mereka bahkan sampai pada tahap menyepakati untuk berpisah dan memakai jalan masing-masing dalam sama-sama berjuang menuju Indonesia merdeka. Bung Hatta dengan konsep mendidik rakyat untuk melek politik terlebih dulu…. Bung Karno langsung menggalang kekuatan rakyat untuk merebut kemerdekaan dari tangan penjajah bedebah.

Akan tetapi, di luar itu semua, keduanya sungguh dua manusia biasa. Dua manusia dengan perasaan yang begitu normal. Mereka juga bercanda dengan sangat intim. Bahkan Bung Karno sendiri yang melamarkan Rahmi untuk bersedia diperistirkan Hatta yang ketika itu, dalam usia sudah berkepala 4 tetapi belum juga menikah. Masih banyak aspek-aspek manusiawi lain yang terjalin dengan begitu kuat di antara keduanya. Bahkan, di detik-detik menjelang kematiannya, Bung Karno, dalam kondisi tak lagi berdaya… hanya bisa mengucap kata, “Hat…ta…” saat melihat sahabatnya itu datang mengunjunginya. Tangan keduanya saling menggenggam, mata mereka beradu pandang, mulut terkunci, air mata keduanya beruraian.

Nah, jalinan yang begitu kokoh antara keduanya, pernah hampir dirusak oleh tangan-tangan laknat, yang besar kemungkinan antek penguasa rezim Orde Baru. Dalam buku biografi “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” tulisan Cindy Adams keduanya hendak dicerai-beraikan dengan menambahan alinea yang lebih dari sekadar biadab. Selain manipulatif, juga sangat provokatif. Berikut kutipannya:

“Tidak ada yang berteriak ‘Kami menghendaki Bung Hatta’. Aku tidak memerlukannya. Sama seperti aku tidak memerlukan Sjahrir yang menolak untuk memperlihatkan diri di saat pembacaan proklamasi…. Sebenarnya aku dapat melakukannya sendirian. Di dalam dua hari yang memecahkan urat syaraf itu maka peran Hatta dalam sejarah tidak ada”.

“Peranannya yang tersendiri selama perjuangan kami tidak ada. Hanya Soekarno-lah yang tetap mendorongnya ke depan. Aku memerlukan orang yang dinamakan ‘pemimpin’ ini karena satu pertimbangan. Aku memerlukannya oleh karena aku orang Jawa dan dia orang Sumatera dan di hari-hari yang demikian aku memerlukan setiap orang denganku. Demi persatuan aku memerlukan seorang dari Sumatera. Dia adalah jalan yang paling baik untuk menjamin sokongan dari rakyat pulau yang nomor dua terbesdar di Indonesia”.

Dua alinea di atas, sungguh mengesankan sosok Bung Karno yang arogan. Bung Karno yang SARA. Bahkan kalimat itu sempat menjadi referensi sejumlah tokoh bangsa kita seperti Prof Dr Ahmad Sjafii Maarif. Beruntung, seperti berulang saya sitir, bahwa sejarah senantiasa akan mengalir menemukan jalan kebenarannya sendiri.

Syahdan, tahun 2007, Syamsul Hadi sang penerjemah menemukan bahwa kedua alinea tersebut tidak ada dalam buku edisi bahasa Inggris (edisi asli yang ditulis Cindy Adams). Sejarawan Asvi Marwan Adam pun menduga dalam bukunya, bahwa ada orang yang sengaja menambahkan dua paragraf yang mengadu domba antarpemimpin Indonesia itu. Siapa durjana itu?

Syukurlah, biografi Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang diterbitkan ulang tahun 2007, kedua alinea hasil rekayasa tangan laknat itu telah dihapuskan. (roso daras)

Published in: on 19 Februari 2013 at 05:04  Comments (8)  
Tags: , , , ,

Cindy Adams, Pilihan Bung Karno

Waktu terus bergulir, sejak Dubes AS untuk Indonesia, Howard Jones mengajukan usul kepada Bung Karno untuk menuliskan biografinya. Tahunnya masih tahun 60-an. Pada pertemuan yang kesekian, Dubes Howard belum berputus-asa membujuk Bung Karno. Masih dengan alasan-alasan yang ia kemukakan dengan begitu serius dan sungguh-sungguh.

Tibalah saatnya Bung Karno menanggapinya dengan menyeringai, “Dengan satu syarat, saya mengerjakannya dengan Cindy Adams!” Howard kaget. Senang bercampur entahlah.

Rupanya, selang beberapa saat setelah pertemuan dengan Howard di Istana Bogor, Bung Karno bertemu dengan wartawan Amerika Serikat bernama Cindy Adams. Dia adalah istri dari pelawak Joey Adams, yang tengah memimpin misi kesenian Presiden Kennedy ke Asia Tenggara.

Selain cantik, Cindy adalah seorang penulis yang ceria, gemar berkelakar, dan… selalu berdandan rapi. Berbicara dengan Cindy, sangat menyenangkan Bung Karno. Dalam salah satu kesaksiannya ia mengatakan bahwa, “Orang Jawa selalu bekerja dengan insting. Seperti ketika saya mencari seorang press officer, kemudian bertemu dengan Rochmuljati, saya segera tahu, dialah yang saya cari, dan segera saya pekerjakan dia. Demikian pula dengan Cindy.”

Laksana menerima durian runtuh, Cindy menerima tugas itu dengan suka cita. Terlebih setelah tahu, bahwa sudah banyak penulis, baik dari dalam maupun luar negeri yang memohon-mohon menjadi penulis biografi Bung Karno, tetapi semua ditolak.

Sekalipun berkebangsaan Amerika Serikat, Bung Karno menilai Cindy dapat memahami dan merasakan denyut nadi bangsa Indonesia. Tulisan Cindy juga dinilai jujur dan dapat dipercaya. Pendek kata, Bung Karno begitu menyukai Cindy. Katanya, “Cindy adalah penulis yang paling menarik yang pernah kujumpai!”

Wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris. Bung Karno mengaku, sesekali membuat kesalahan dalam tata-bahawa, dan sering pula berhenti pada satu kalimat karena ia merasakan adanya kekakuan dalam kalimat yang ia utarakan. Begitulah wawancara terus mengalir dengan lancar hingga tersusunlah buku Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Kepada pembaca buku biografinya, Bung Karno juga memiliki pesan tersendiri.  Begini ia bertutur, “Kuminta kepadamu, pembaca, untuk mengingat bahwa, lebih daripada bahasa kata-kata yang tertulis adalah bahasa yang keluar dari lubuk-hati. Buku ini ditulis tidak untuk mendapatkan simpati atau meminta supaya setiap orang suka kepadaku. Harapan hanyalah, agar dapat menambah pengertian yang lebih baik tentang Sukarno dan dengan itu menambah pengertian yang lebih baik terhadap Indonesia tercinta.” (roso daras)

Published in: on 18 Oktober 2010 at 10:40  Comments (14)  
Tags: , ,

Howard Jones Membujuk Bung Karno

Hari Minggu, tahun 60-an, Dubes Amerika Serikat untuk Indonesia, Howard Jones bersama istrinya Marylou bertandang ke Istana Bogor. Di salah satu paviliun tempat Bung Karno – Hartini tinggal, Howard dan istri dijamu sarapan nasi goreng. Kebetulan, Howard senang sekali makan nasi goreng, apalagi spesial masakan Hartini.

Dalam salah satu obrolan, meluncurlah saran Howard kepada Bung Karno, agar bersedia menuliskan biografinya. “Tuan Presiden, saya kira sudah waktunya bagi Tuan untuk melihat kembali jalan-jalan dalam sejarah. Menurut pendapat saya sudah tepat waktunya bagi Tuan untuk menuliskan sejarah hidup Tuan,” begitu Howard mengajukan usulnya.

Ide itu sendiri, bukan untuk yang pertama mampir di telinga Bung Karno. Ketika itu, jawaban Bung Karno juga sama seperti ketika ia menjawab usul-usul serupa sebelumnya. “Tidak. Insya Allah, jika Tuhan mengizinkan, saatnya masih 10 atau 20 tahun lagi. Siapa yang dapat menceritakan bagaimana jalannya kehidupan saya? Itulah sebabnya mengapa saya selalu menolak hal ini, karena saya yakin bahwa buruk-baiknya kehidupan seseorang hanya dapat dipertimbangkan setelah ia mati.”

Howard tidak menyerah. Ia mengatakan, “Terkecuali Presiden Republik Indoneia. Di samping telah menjadi Kepala Negara selama 20 tahun, ia telah dipilih sebagai presiden seumur hidup. Ia adalah orang yang paling banyak diperdebatkan dan dikritik di zaman kita ini. Ia…,” belum selesai Howard bertutur, Bung Karno menyambar, “…. ya… saya menyimpan banyak rahasia.”

Tapi toh Bung Karno masih mengelak. Sejurus dengan itu, Howard juga tidak berhenti merayu. Dikatakan ihwal perlunya Bung Karno menuliskan biografinya, agar dunia mengetahui. Bung Karno perlu menuang tentang sejarah dirinya agar segala kontroversi bisa diakhiri. “Tuan tidak bisa mendatangi sendiri seluruh rakyat di dunia, akan tetapi Tuan dapat datang kepada mereka melalui halaman-halaman buku. Tuan adalah ahli pidato terbesar setelah William Janmings Bryan. Tuan menawan hati sejuta pendengar di lapangan terbuka. Mengapa Tuan tidak menghendaki jumlah pendengar yang lebih besar lagi?”

Percakapan dilanjutkan hingga keduanya menutup sarapan dan makan pisang rebus kesukaan Bung Karno. Tema obrolan masih seputar biografi. Bagaimana Bung Karno bertahan untuk menunda, dan bagaimana Howard Jones bertahan untuk menyegerakannya. Setidaknya, Bung Karno untuk pertama kalinya mau meladeni seseorang berbicara tentang biografinya secara panjang lebar. Pengalaman-pengalaman terdahulu, ia hanya menolak. Dan ketika didesak, ia akan marah.

Ada satu kisah yang bisa menggambarkan hal itu. Adalah Rochmuljati Hamzah, staf presiden yang mengurusi pers. Suatu ketika, tahun 1960, ia didamprat Bung Karno, karena sebab yang sama. Saat kunjungan Kruschev ke Jakarta, banyak wartawan asing datang meliput. Suatu saat, Roch memberanikan diri mengajukan saran, “Maaf Pak. Bapak jangan marah, karena kami sendiri pun tidak mengetahui sejarah hidup Bapk. Dan Bapak sedikit sekali memberikan wawancara. Oleh karena itu, dapatkah Bapak menentramkan hati saya barang sedikit, dan menerima seorang wartawan CBS yang ramah sekali dan ingin menulis riwayat hidup Bapak.”

Bun Karno berpaling dan menyembur, “Berapa kali aku harus mengatakan kepadamu, T-I-D-A-K!! Pertama, aku tidak mengenalnya, akan tetapi kalau aku pada suatu saat menulis riwayat hidupku, aku kan kerjakan dengan seorang perempuan. Sekarang jauh-jauhilah dari penglihatanku. Engkau seperti pesuruh wartawan asing saja!” Roch pun berlari keluar dan pulang….

Pasca kejadian itu, tak lama berselang, Bung Karno menyesal. Ia menyuruh ajudan menghubungi Roch dan menjemputnya menghadap. Roch datang mengira bahwa ia akan menerima semprotan yang lain lagi, tapi sebaliknya, Presidennya hendak minta maaf. “Maafkan aku, Roch,” kata Bung Karno pertama-tama, “Kadang-kadang aku berteriak dan menyebut nama-nama buruk, akan tetapi sebenarnya akulah itu. Jangan masukkan kata-kata itu dalam hatimu. Kalau aku meradang, itu berarti aku mencintaimu. Aku menyemprot kepada orang-orang yang terdekat dan paling kusayangi. Hanya mereka yang menjadi papan suaraku.”

Usai meminta maaf, Bung Karno mencium pipi Roch, cara yang biasa ia lakukan sebagai salam pertemuan dan perpisahan dengan anak-anak perempuan sekretarisnya. Roch pun tersenyum, dan pergi denan hati yang senang sekali. Itu hanya contoh kecil yang Bung Karno katakan sebagai, “persoalan-persoalan Asia harus diselesaikan dengan cara Asia….” (roso daras)

 

Published in: on 10 Oktober 2010 at 07:39  Comments (5)  
Tags: , ,