Toto Suryawan SP dan “Laskar Marhaen”

Roso, Toto, Heni

Sabtu, 25 Desember 2012, saat Libur Natal, dua orang Sukarnois mengajak bertemu. Jadilah siang itu, saya ditemani rekan Sumarno, menerima dua orang Sukarnois di kantor Condet, Jakarta Timur. Dua orang itu masing-masing adalah anak biologis Bung Karno yang bernama Toto Suryawan Soekarnoputra, dan Hani Merliana, anak ideologis Bung Karno.

Apa yang kami rembug? Tidak jauh dari tema Bung Karno. Benar, kami membicarakan hal-ihwal tentang Sukarno dan Sukarnoisme, dan akhirnya mengerucut ke topik Marhaenisme. Toto Suryawan, putra tunggal Bung Karno dari istri Kartini Manoppo, cukup lama sebenarnya berkecimpung dalam politik praktis. Pernah dekat dengan lingkungan PDIP, dan sekarang duduk di pengurusan PNI Marhaenisme pimpinan Sukmawati.

Sekalipun nama Toto Suryawan tidak pernah di-declare sebagai putra Bung Karno, tetapi saudara-saudara sekandung dari ibu Fatmawati, Hartini, dan Ratna Sari Dewi memakluminya sebagai putra Bung Karno. Mereka pun bergaul relatif intens. Toto tampak hadir di sejumlah acara keluarga yang melibatkan putra-putri Bung Karno dari Fatmawati. “Orang tidak banyak mengenal saya sebagai putra Bung Karno. Buat saya tidak masalah. Saya sebagai putra biologis hanya concern bagaimana mengaplikasikan prinsip-prinsip hidup Bung Karno, serta berniat menyiarkan ajaran Bung Karno,” ujar Toto.

Seperti siang itu, dia antusias berbicara bagaiamana konsep marhaenisme yang sejatinya masih sangat relevan untuk diaplikasikan di bumi Indonesia. Dia bahkan sangat antusias ketika diajak membentuk semacam wadah pengkajian sekaligus sarana pengaplikasian ajaran-ajaran Bapaknya. Di wadah itulah, diharapkan akan terjadwal agenda-agenda sosialisasi ajaran Bung Karno, dengan menghadirkan narasumber-narasumber yang kompeten. Bahkan, di wadah itu pula dia memimpikan lahir karya nyata-karya nyata anggota dalam praktik kehidupan sehari-hari.

“Ini bukan wadah politik. Anggotanya, atau partisipannya bisa dari golongan mana saja. Kalau dia kader politik, tidak ada pembatasan dari parpol mana, tidak menyoal keyakinan dan agama… intinya ini wadah plural,” tegas Toto Suryawan.

Wadah itu ditunggangi sebuah pamrih, tentang kebutuhan akan lahirnya satu wadah Sukarnois yang bebas dari kepentingan politik, dan semata-mata mempropagandakan Bung Karno beserta semua ajarannya. Kami, berempat, menyepakati gagasan itu. Dan berharap, dalam waktu dekat, wadah itu terwujud, diikuti segala agenda kongkrit. (roso daras)

Sumpah di Depan Jenazah

Abdul Madjid

Kamis, 8 Oktober 2009 rumah di bilangan Setiabudi, Karet, Jakarta Selatan itu tampak sepi, meski adzan maghrib baru saja usai berkumandang. Pintu pagar tak terkunci. Ketika pintu utama diketuk, tak berjawab. Bergeser ke pintu samping, ketukan yang sama juga tak bersahut.

Melalui usaha –mengetuk pintu– terus-menerus, akhirnya keluar seorang pria muda usia. Ia mempersilakan kami masuk seraya mengatakan, “Bapak masih shalat (maghrib).” Siapa “kami”? Siapa “bapak”? Kami adalah saya bersama H. Amin Aryoso, seorang tokoh nasionalis, dan mas Giat, seorang rekan wartawan politik. Sedangkan “bapak” yang dimaksud adalah tokoh nasionalis lain, H. Abdul Madjid.

Tak lama menunggu, usai shalat maghrib, Abdul Madjid berjalan menjumpai kami. Langkahnya agak tertatih-tatih. Sejenak ia uluk salam dan duduk di kursi berhadap-hadapan dengan kami. Komunikasi basa-basi sebagai pencair suasana, tidak berjalan baik. Pasalnya, pendengaran Abdul Madjid terasa benar makin menurun. Karenanya, meski jarak antarkami hanya sekitar 1,5 meter, tetapi volume suara harus dibuat lebih tinggi, meski belum sampai ke tahap berteriak-teriak.

Saya menarik satu kursi dan duduk di sampingnya. Bukan saja komunikasi jadi lebih mudah, lebih dari itu, saya bisa mendekatkan voice recorder.  Tema pembicaraan malam itu seputar dua hal pokok. Pertama, mengenai “demokrasi Indonesia” disandingkan dengan demokrasi Amerika, Inggris, Jerman, Perancis, Jepang, Cina, dan lain-lain. Kedua, tentang amandemen UUD 1945 oleh MPR 1999-2004 yang melahirkan “UUD 2002”.

Suara Abdul Madjid masih menggelegar, berat, dan penuh semangat. Anda tahu? Usianya sudah lebih 90 tahun! Tutur katanya masih runut, sistematika berpikir masih tersusun rapi, dan daya ingatnya luar biasa.

Selagi menyimak dan merekam kata demi kata, saya menyapu seisi ruang tamu sekaligus ruang kerja Abdul Madjid. Selain banyak tumpukan buku, juga banyak sekali ornamen merah putih, deretan foto-foto aktivitasnya di berbagai kegiatan, dan tentu saja, foto Bung Karno.

Bahkan dalam salah satu foto Bung Karno, di bagian bawah ditempel foto Abdul Madjid yang sedang berpidato. Menilik usia foto dan sosok Abdul Madjid di dalam foto yang tertempel, saya taksir itu peristiwa sekitar 20 tahun lalu, saat Abdul Madjid masih berusia sekitar 70-an tahun. Tangan kanan mengepal meninju langit, tangan kiri memegang mic. Ia sedang berorasi. Di bagian bawah terbaca tulisan, “Saya tukang ngomong belaka”.

Memang benar. Abdul Madjid “tukang ngomong”, namun bukan sembarang omongan. Ia senantiasa menyuarakan ajaran-ajaran Bung Karno. Dalam setiap kiprahnya sebagai politisi, Sekjen PNI era 60-an ini, tak pernah sekalipun menanggalkan keteladanan Bung Karno. Ia juga menyerukan kepada setiap generasi muda untuk meneladani moral politik Bung Karno.

Bahkan, dalam diskusi-diskusi kecil, ia tak pernah meninggalkan kutipan-kutipan pidato atau artikel Bung Karno sebagai sumber rujukan. Nyata sekali, ia begitu bersemangat untuk terus dan terus menggelorakan ajaran Bung Karno. “Itu karena saya sudah bersumpah kepada Bung Karno,” ujar Abdul Madjid menjelaskan mengenai semangatnya yang tetap menyala dalam menyuarakan ajaran Bung Karno.

“Di depan jenazah Bung Karno di Wisma Yaso, saya pernah berkata, ‘Selamat jalan bung. Saya akan meneruskan ajaranmu’. Kalimat itu merupakan sumpah sekailigus janji saya. Dan itu pula yang akan saya lakukan hingga ajal menjemput,” ujar Abdul Madjid dalam getar suara yang mantap. (roso daras)

Published in: on 12 Oktober 2009 at 00:37  Comments (4)  
Tags: , , ,