Surat Dewi kepada Soeharto (5)

Surat Dewi kepada Soeharto berikut ini, lebih tajam menggugat berbagai kejanggalan di seputar peristiwa Gerakan 30 September. Dewi bahkan mengajukan pertanyaan menohok, ihwal dugaan bahwa Soeharto sendirilah yang sebenarnya berada di balik rencana-rencana busuk “Dewan Jenderal”. Berikut nukilannya:

dewi5Bapak Soeharto, untuk pertanyaan yang berikut ini saya mohon perhatian khusus Anda. Keberadaan “Dewan Jenderal” yang Anda sangkal dengan sengit, diketahui Jenderal Yani (lepas dari fakta bahwa orang megatakan Dewan ini dibentuk oleh jenderal-jenderal yang terbunuh). Hanya dua minggu sebelum insiden ini presiden menanyakan padanya berita-berita yang lebih lanjut mengenai hal itu. Yani menjawab, “Biarkanlah saya bertanggung jawab mengenai bawahan saya. Janganlah Anda memikirkan hal ini lagi”.

Bagi saya belum dapat dipercaya bahwa Jenderal Yani pada hari naas itu terbunuh juga. Apabila Anda, yang mendapat tugas untuk menyelidiki gerakan 30 September, tidak mengadakan penyelidikan sepihak, maka Anda juga akan mengetahui bahwa sebenarnya Sukarno tidak terlibat perkara itu.

Bapak Soeharto, bolehkah saya mengajukan pertanyaan berikut: Jawaban apa yang akan Anda berikan kepada rakyat Indonesia yang menduga bahwa Anda sendiri yang melaksanakan rencana-rencana busuk “Dewan Jenderal” setelah melihat betapa lihainya Anda mengembalikan ketertiban dari suatu situasi yang amat membingungkan (segera setelah insiden itu terjadi). Kekacauan yang amat sempurna yang terjadi di Indonesia saat itu, dimanfaatkan oleh Angkatan Bersenjata yang berorientasi kanan, bersama para mahasiswa yang pada gilirannya juga didorong pemimpin-pemimpin Islam dan politisi beraliran kanan, untuk menindas PKI.

Untuk tujuan itu dibuat suatu skema yang jelas tentang pembunuhan dan pertumpahan darah. Mungkinkah wajah Angkatan Bersenjata yang berpaling ke Pentagon, Kementerian Pertahanan Amerika Serikat yang jadi pusat militer dari persekongkolan militer di dunia. Bukankah mereka menginginkan agar di sudut (dunia) ini PKI ditumpas dan hubungan dengan Cina diputuskan?

Berulang kali Sukarno memperingatkan bahwa menuduh PKI bertentangan dengan kebenaran. Sukarno mengatakan, “Jangan meletakkan seluruh tanggung jawab itu pada PKI. Kebenarannya ada di tempat lain”. Saya akan selalu menghormati dan respek pada Sukarno, yang menjalani nasibnya. Yang menolak tunduk pada tekanan Angkatan Bersenjata, yang melakukan segala upaya untuk menyatakan PKI tidak layak hukum.

Dia tidak goyah dalam kepercayaan dan cita-citanya di bawah tekanan seberat apa pun. Bila saat itu ia menyerah dan mengadakan kompromi, maka posisi Sukarno saat ini akan lain sama sekali. Tetapi Sukarno melambangkan keadilan.

Menteri Luar Negeri Adam Malik, pada tahun 1966 memberikan pidato penjelasan yang amat bodoh pada para mahasiswa Indonesia di Tokyo. Dia menjelaskan bahwa Sukarno yang bertanggung jawab atas pembunuhan “massal” terhadap anggota-anggota “komunis”, yang menurutnya tidak akan terjadi bila saja Sukarno segera mengadili PKI. Kita hanya bisa bergidik bila membayangkan apa yang akan terjadi di Indonesia, bila Sukarno juga muncul di depan umum untuk menghujat PKI. Itu akan berarti bahwa presiden melegalisasi pengejaran terhadap para komunis yang memang sudah dimulai dan akan berakibat pembantaian yang lebih hebat. Ungkapan Latin berbunyi “cui bono” (siapa yang beruntung!).

Dalam penyelidikan mencari fakta-fakta yang sebenarnya, yang penting tidak hanya apa yang sebenarnya teradi. Yang tidak kalah penting adalah mencari fakta, siapa yang paling beruntung dalam kejadian ini. Bukankah Amerika Serikat yang jelas memperoleh kemenangan dalam insiden 30 September ini? Jakarta yang sekarang dibanjiri oleh orang-orang Amerika yang akan ber-“investasi”. Sebetulnya hal itu tidak akan menyebabkan keberatan, bila ini berarti bahwa aktivitas ekonomi ini terutama akan mendorong kesejahteraan rakyat Indonesia.

Selama hidupnya Sukarno selalu menolak bila ada yang ingin membuat patung dirinya. Setelah 22 tahun memimpin revolusi Indonesia, dengan amat segan ia menyetujui untuk mempublikasikan otobiografinya. Tetapi, Anda, Bapak Soeharto, baru saja Anda memperoleh kekuasaan dan Anda telah mengeluarkan buku yang berjudul “The Smiling General”. Setelah itu telah terjadi rahasia umum bahwa Anda berkeinginan untuk mencetak potret Anda pada uang kertas, yang berhasil dicegah oleh para penasihat Anda.

Pada umumnya, di kedutaan-kedutaan di luar negeri dipasang potret-potret dari tokoh-tokoh sejarah negara yang bersangkutan. Sukarno adalah Bapak Indonesia. Tetapi mengapa di kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri tidak ada sama sekali potret Sukarno sekecil apa pun? Anda, yang mengkritik diktator Sukarno, dengan khidmat berjanji untuk membimbing Indonesia ke arah demokrasi yang mewakili suara dan hati nurani rakyat.

Sementara itu Anda telah merenggut hak-hak yang lebih besar daripada Sukarno. Langkah pertama ke arah demokrasi, yakni pemilihan presiden, selalu ditunda-tunda. Anda malah mengizinkan diadakannya diskusi-diskusi menggelikan tentang apakah nama Sukarno layak ditulis di dalam buku-buku sejarah negara ini. Sementara Anda menjelaskan secara umum bahwa Anda melindungi Sukarno, Anda malah mengisolasinya dari dunia luar. Pengasingan yang tidak adil ini dengan dalih bahwa dia sedang sakit, jutru akan membuatnya sakit.

Bila ia membutuhkan perawatan medis, Anda malah menolak untuk memberikannya. Alat-alat medis yang tak dapat digunakan menghiasi kamar-kamarnya. Perawatan gigi yang dibutuhkannya, tidak diberikan. Orang telah menganjurkan agar tidak memberikan lagi suntikan-suntikan, karena tidak diketahui lagi, apakah ia menerima obat-obatan yang benar-benar dibutuhkannya. Saya hanya bisa berharap agar makanan yang disiapkan anak-anaknya, benar-benar sampai ke tangannya. (roso daras/bersambung)

Perintah Pertama Presiden Sukarno kepada Tukang Sate

Jam menunjuk pukul 10 lebih, ketika proklamasi kemerdekaan dikumandangkan 17 Agustus 1945. Usai upacara, Bung Karno yang sedang kumat malarianya, ngeloyor ke kamar dan merebahkan tubuhnya yang lelah. Satu kalimat sebelum ia benar-benar lelap adalah, “Revolusi sudah dimulai!”

Setelah itu, Bung Karno benar-benar tidak mengikuti pernak-pernik kejadian kecil yang berseliweran di sekitar kediamannya. Ia tidak mengikuti detil bagaimana pemuda Adam Malik melompat pagar RRI yang dijaga tentara Jepang untuk menyerobot frekuensi radio buat mengumumkan berita kemerdekaan.

Bung Karno tidak mengikuti kejadian ketika pembantu setianya, Riwu Ga berinisiatif keliling kota Jakarta mengibar-ngibarkan bendera merah putih dan berteriak-teriak, “Kita sudah merdekaaa… Kita sudah merdekaaa….” tanpa gentar sewaktu-waktu ia bisa dibedil tentara Jepang.

Bung Karno bahkan tidak mengikuti peristiwa ketika sejumlah pemuda mentasbihkan kelompok “Pasukan Berani Mati” yang kemudian bersiap-siaga di Pegangsaan Timur 56, menyiapkan tubuhnya sebagai tameng hidup kalau-kalau ada yang mencoba menurunkan bendera merah putih yang sudah berkibar… kalau-kalau ada yang hendak mencelakai Bung Karno sang proklamator.

Bung Karno benar-benar kelelahan. Lelah fisik…. Lelah pikiran…. Sakit fisik…. Hingga malam merayap menyelimuti tidurnya yang lelap. Tidak Fatma istrinya, tidak Dr Soeharto dokter pribadinya, tidak juga para elit pejuang yang berani mengusik. Begitu kejadiannya hingga fajar merekah di ufuk timur.

Pagi itu… masih pagi sekali. Jika ada yang memperhatikan, bahkan embun masih melekat di dedaunan, ketika para tokoh berbagai golongan berkumpul di suatu tempat untuk membicarakan kelanjutan proklamasi. Hadir pemimpin golongan-golongan agama, masyarakat, suku, pedagang, dan golongan penduduk di Indonesia. Bung Karno didaulat pula hadir dalam pertemuan itu. Nah, di situlah mereka memilih Bung Karno dengan suara bulat sebagai Presiden.

Bung Karno dalam sisa-sisa kelelahan, bahkan dalam buku biografi yang ditulis Cindy Adams, sampai-sampai tidak ingat lagi siapa yang sesungguhnya pertama kali mengusulkan Bung Karno sebagai Presiden. Bung Karno hanya ingat “seseorang” mengluarkan ucapan yang nadanya datar-datar saja, “Nah, kita sudah ber-Negara mulai dari kemarin. Dan suatu negara memerlukan seorang Presiden. Bagaimana kalau kita memilih Sukarno?”

Begitulah keseluruhan detik-detik bersejarah pemilihan presiden RI yang pertama. Ya… sesederhana itu! Apa jawaban Bung Karno menerima usulan bulat itu? Jawaban Penyambung Lidah Rakyat Indonesia sebagai tanda terima kasih atas pengangkatan itu hanya satu kata: “Baiklah!” Hanya itu. Itulah keseluruhan kata yang keluar dari mulut Bung Karno saat dirinya diusulkan secara bulat menjadi Presiden, “Baiklah!” Bung Karno tidak membikin gempar dengan pidatonya. Yang lain juga tidak ada yang membikin gempar. Tak seorang pun membikin kegemparan. Semua dihimpit waktu. Terlalu banyak pekerjaan yang harus dihadapi oleh Republik yang baru berusia satu hari.

Syahdan… setelah dipilih memegang jabatan tertinggi di seluruh negeri, Presiden yang baru dipilih itu pun berjalan pulang. Di jalanan, ia bertemu dengan tukang sate ayam. Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia itu pun spontan memanggil tukang sate yang berkaki-ayam alias nyeker itu. Kemudian, untuk pertama kali, Presiden mengeluarkan perintah pelaksanaan yang pertama kepada si tukang sate, “Sate ayam lima puluh tusuk!”

Sejurus kemudian, Bung Karno pun berjongkok dekat selokan dan kotoran. Memakan lima puluh tusuk sate dengan lahapnya. Inilah seluruh pesta atas pengangkatan dirinya sebagai Kepala Negara. (roso daras)

Published in: on 18 Agustus 2010 at 10:11  Comments (18)  
Tags: , ,