Sembilan Ekspresi Sukarno

sembilan ekspresi BK

Lukisan sembilan ekspresi wajah Bung Karno karya Sohieb Toyaroja. (foto: roso daras)

Telepon berdering. Di ujung sana, terdengar suara khas pelukis Sohieb Toyaroja. “Datang ke studio Jalan Paso mas…. Lukisan sembilan ekspresi Bung Karno sudah hampir jadi,” ujarnya.

Tiba di studio yang terletak di bilangan Jagakarsa, Jakarta Selatan hari sudah gelap. Bangunan besar dengan patung Semar di depan itu terasa sejuk, teduh, dan tenang.

Memasuki studio tempat Sohieb melukis, tampak sebuah lukisan maha besar. Berukuran sekitar 10 meter x 3 meter, berisi 13 pahlawan nasional. Selain Bung Karno dan Hatta, mungkin tidak banyak yang kenal. Sebab, Sohieb memang banyak mengangkat pahlawan lokal.

Tokoh yang cukup familiar antara lain HOS Cokroaminoto, Jenderal Besar Sudirman, Jenderal Polisi M. Jasin, Frans Kaisiepo, dan sejumlah nama lain yang mewakili berbagai daerah.

Sementara lukisan sembilan ekspresi Sukarno teronggok di salah satu dinding, dalam kondisi hampir paripurna. “Tinggal finishing sedikit, sudah siap,” ujar Sohieb seraya melanjutkan, “tolong mas, carikan kutipan yang pas untuk lukisan ini.”

Tiga kutipan aku sodorkan padanya. Pertama, “Senyuman, tawa, dan tangisku adalah sebuah kesaksian, bahwa kekuasaan seorang Presiden sekalipun ada batasnya. Kekuasaan yang langgeng hanya kekuasaan rakyat.”

Kutipan kedua, ““Saya terpesona oleh revolusi. Saya gila, terobsesi oleh romantisme… Revolusi melonjak, berkedip, guntur hampir di setiap penjuru bumi… Teruslah mengipasi kobaran api … Mari kita menjadi kayu bakar yang memberi makan api revolusi.”

Dan kutipan ketiga, ““Tidak ada satu negara yang benar-benar hidup jika tidak ada seperti kuali yang mendidih dan terbakar, dan jika tidak ada benturan keyakinan di dalamnya.”

Berjam-jam aku menatap lukisan itu. Seperti kebanyakan lukisan Sohieb yang lain, semakin dipandang, semakin “hidup” lukisan itu. Alhasil, sosok Sukarno seolah hadir di Studio Jalan Paso, malam hari itu. (roso daras)

Agustus yang Hangat di Uni Soviet

Ini adalah tulisan pertama tentang kunjungan Presiden Sukarno ke Uni Soviet pada tanggal 28 Agustus 1956. Narasi yang tersedia memang sangat terbatas, jauh lebih sedikit dibanding jumlah foto yang disajikan. Karenanya, saat menikmati buku lawas berjudul “Kunjungan Presiden Republik Indonesia Sukarno ke Sowjet Uni” terbitan Penerbit Seni Lukis Negeri Moscow 1956 itu, ada rasa geram, haus akan narasi yang panjang. Sayang memang, keinginan itu tidak terkabulkan.

Merekonstruksi peristiwa itu, mungkin saja bisa dilakukan, tentu saja jika masih ada satu-dua saksi mata yang ikut serta dalam kunjungan tersebut. Melalui postingan ini, siapa tahu, kepingan puzzle yang entah di mana, bisa muncul dan melengkapinya menjadi sebuah cerita sejarah yang sangat menarik untuk generasi penerus.

Selama ini, sering kita mendengar cerita fantastis tentang betapa Bung Karno senantiasa mendapat sambutan luar biasa di negara mana pun yang ia kunjungi. Kebesaran nama Sukarno, ketika itu, bahkan lebih besar dari Indonesia itu sendiri.

Tak terkecuali, kunjungan Bung Karno dan rombongan ke Uni Soviet antara 28 Agustus – 12 September 1956. Bukan waktu yang sebentar. Akan tetapi, juga bukan waktu yang lama jika ingin mengunjungi negara yang maha besar (ketika itu).

Bung Karno Tiba di MoskowFoto di samping ini adalah foto Bung Karno saat keluar dari pintu pesawat, melambaikan tangan kepada para petinggi negeri dan rakyat Soviet yang menyambutnya. Pidato kedatangan Bung Karno dalam buku itu diringkas sebagai berikut, “Indonesia terpisahd ari Uni Soviet dengan lautan yang luas, dengan dataran dan pegunungan, akan tetapi kami merasa di sini seperti di rumah, seperti di antara keluarga kami sendiri.” Dalam rapat-rapat akbar selanjutnya, di kota mana pun Bung Karno singgah, kalimat di atas tidak pernah ketinggalan.

Sambutan itu membuktikan adanya rasa simpati yang hangat di hati rakyat Soviet terhadap rakyat suatu negeri yang jauh yang tidak sedikit sumbangannya dalam perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang berjuta-juta itu. Kaum pekerja Uni Soviet menyambut Presiden Sukarno, seorang tokoh politik  dan tokoh negara terkemuka sebagai wakil rakyat Indonesia yang 80 juta jumlahnya, yang perwira dan cinta damai.

Kota Moskow 1956

Foto di atas adalah gambaran kota Moskow, Ibu Kota Uni Soviet, tahun 1956.

Bung Karno terima Penghormatan

Tampak di gambar sebelah kiri, Bung Karno membalas penghormatan dari komandan militer setempat, didampingi Ketua Presidium Soviet Tertinggi, K.E. Worosjilov. Selain disambut hampir semua petinggi negara, Bung Karno dan rombongan juga disambut upacara militer dengan parade pasukan penuh di bandara. Di samping itu, masih banyak kaum buruh dan rakyat Soviet yang ikut menyambut di bandara (dan nanti, di sepanjang jalan menuju Kremlin).

Bung Karno dan Worosjilov

Bung Karno disambut dengan sangat ramah oleh Ketua Presidium Soviet Tertinggi, K.E. Worosjilov dan Ketua Dewan Menteri Uni Soviet, N.A. Bulganin (tengah). Jika ada yang bilang, “foto bisa bicara”, maka yang terkesan dari foto di atas adalah, sambutan dan senyum yang sama-sama tulus dari kedua pemimpin negeri.

Yang satu pemimpin tertinggi salah satu negeri adi daya (ketika itu), yang satu adalah presiden dari sebuah negara yang baru 11 tahun merdeka, tetapi reputasi presidennya telah kesohor ke seantero penjuru bumi. Foto itu juga berbicara tentang kesetaraan antara dua kepala negara. Perhatikan bagaimana Bung Karno menjabat Worosjilov. Itulah jabatan tangan Bung Karno yang terkenal, “menggenggam habis” tangan yang disalaminya, seberapa besar pun tangan orang itu.

Kopiah yang menjadi ciri khas Bung Karno, serta kacamata hitam yang tetap melekat, disadari atau tidak, memancarkan aura percaya diri yang sangat tinggi. Terhadap presiden yang demikianlah, negara sebesar apa pun akan segan. Dengan kepala negara yang disegani, Indonesia pun menjadi negara yang disegani di dunia (ketika itu). (roso daras)

Sulitnya Melawan Bangsa Sendiri

Bahkan sebelum negara ini merdeka, Bung Karno sudah mengingatkan kepada kita dengan kata-katanya yang –lagi-lagi– tetap aktual. Kurang lebih begini ia pernah berpesan:

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu lebih susah karena melawan bangsamu sendiri”

Kalimat Bung Karno itu terasa makin aktual dengan konteks kekinian. Di era pra kemerdekaan, lawan para pejuang kemerdekaan kita jelas, kaum penjajah. Bangsa Belanda yang jelas segala-galanya berbeda dengan bangsa kita. Kulitnya bule, rambutnya pirang jagung… pendek kata… sangat mudah mengidentifikasi musuh.

Mengenali musuh kita sekarang? Jelas susah kita kenali, sebab mereka adalah bangsa kita sendiri. Yang berperan sebagai pemeras, berkulit sama. Yang berperan sebagai penindas, bangsa kita juga. Yang berperan sebagai tukang gebuk, ya orang kita juga. Yang berperan sebagai pengatur aturan, juga bangsa sendiri. Praktik-praktik penjajahan dalam bentuk yang lebih canggih, sejatinya merebak di sekeliling kita.

Dalam ilustrasi di atas, poster Bung Karno dengan insert Munir, dibubuhi kalimat pesan Bung Karno seperti tersebut di atas. Pembunuh Munir bukan orang bule, tetapi bangsa sendiri. Maka sebaik-baiknya sikap adalah tetap waspada terhadap setiap praktek penjajahan gaya baru.

Kita harus memahami kalimat Bung Karno dalam konteks yang terus di-up date. Contoh, yang disebut musuh kita adalah bangsa kita sendiri, adalah sebagian dari bangsa kita yang memiliki ideologi (dalam bahasa Bung Karno) “kontra revolusioner”. Mereka yang berjiwa neolib, kapitalis, dan individualis. Waspadalah…. Waspadalah ! (roso daras)

Published in: on 15 Juli 2010 at 12:37  Comments (13)  
Tags: , ,

Mobil Unik di Gedung Joang ’45

Jika sesekali Anda bertandang ke Gedung Joang di Jl. Menteng 11, Jakarta Pusat, mobil antik ini acap mangkal. Sebuah mobil antik Land Rover yang dicat kuning mencolok lengkap dengan segala aksesoris yang juga menyedot perhatian. “Mobil dari negeri kapitalis yang menjadi nasionalis,” hati saya menggumam.

Ada kibar bendera merah putih di sisi sebelah kanan bagian belakang mobil. Di atas kap mesin ada tulisan “BAGIMU NEGERI, JIWA RAGA KAMI”, yang ditulis di plat warna merah dengan tinta warna kuning. Kontras sekali. Di depan grill, ada lingkar burung Garuda Pancasila dengan tulisan melingkar “Forum Indonesia Damai”. Kiranya, lembaga inilah si empunya mobil tersebut. (roso daras)

Published in: on 6 Juni 2010 at 14:42  Comments (1)  
Tags: ,

Karikatur pun Jadi Senjata Konfrontasi

Bung Karno tidak saja pandai berorasi. Bung Karno bukan saja seorang propagandis yang jempolan. Lebih dari itu, ia juga melakukan media massa sebagai alat konfrontasi melawan imperialisme Belanda. Melalui majalah Fikiran Ra’jat yang ia pimpin, juga koran Suluh Marhaen dan lain-lain, Bung Karno adalah seorang penulis yang produktif.

Bukan hanya melalui tulisan, Bung Karno juga membuat coretan karikatur sebagai senjata konfrontasi menentang penjajahan. Kepeloporannya, bahkan mengundang karikaturis amatir lain di berbagai pelosok negeri untuk mengirim karya, buah ekspresi jiwa menentang Belanda. Karikatur-karikatur berikut adalah beberapa contoh:

Karikatur di atas, dimuat di majalah Fikiran Ra’jat nomor 6 – 7, tanggal 12 Agustus 1932. Latar belakang situasi politik ketika itu adalah terjadinya perpecahan golongan nasionalis yang memuncak pada dua kubu, PNI dan Partindo. Bung Karno gagal menuntaskan konflik itu dengan Bung Hatta, sehingga akhirnya Bung Karno memilih masuk Partindo.

Sekalipun begitu, Bung Karno (gambar tengah) tetap mengulurkan tangannya kepada PNI. Karikatur itu pun dilengkapi teks yang bunyinya, “Kasih tangan saudara! Bung Karno masuk P.I. tetapi terus berpolitik persatuan. Kaum Marhaen yang sengsara, Bersatulah”.

Dan, dalam majalah Fikiran Ra’jat itu juga dikeluarkan “Maklumat dari Bung Karno Kepada Kaum Marhaen Indonesia” yang merupakan ajakan Bung Karno agar kaum Marhaen tetap bersatu.

Nah, simak karikatur kedua di bawah ini:

Karikatur ini dimuat dalam Fikiran Ra’jat nomor 9 tanggal 26 Agustus 1932. Karikatur tersebut dikutip dari “Nieuws van den Dag”, koran yang berafiliasi ke pemerintah Hindia Belanda yang menggambarkan Bung Karno sedang berteriak: “Kamu Marhaen bersatulah, musuh lagi mengamuk”, sedangkan ditandaskan oleh koran N.v.D. “musuh sama sekali tidak mengamuk, sebaliknya ia ada baik hati dan asih….” Dua pendapat yang kontras ini dikomentari oleh Fikiran Ra’jat hanya dengan dua huruf…. Hm….

Kita simak karikatur ketiga berikut:

Karikatur di atas dimuat dalam Fikiran Ra’jat nomor 10 – 11, tanggal 9 September 1932. Situasi politik yang melatarbelakangi keadaan waktu itu adalah adanya bahaya nyata imperialisme yang melahirkan “zaman malaise”. Sementara, para pemimpin pergerakan saling cekcok. Bung Karno senantiasa memperingatkan: “Buat keseribu kalinya Bung Karno berteriak…. Kaum Marhaen Bersatulah!!!”.

Simak pula karikatur berikut:

Karikatur ini dimuat dalam majalah Fikiran Ra’jat nomor 17, tanggal 21 Oktober 1932. Saat itu Bung Karno sangat giat melakukan aksi propaganda politik kemerdekaan Indonesia. Karikatur ini merupakan kontribusi pembaca. Di bawah gambar dibubuhi tulisan, “Bung Karno dengan 1.900 mijls laarzen, plus… botol karbol” Maksudnya adalah, dengan 1.900 mijls laarzen itu ialah jarak perjalanannya menggembleng rakyat yang telah dilakukan Bung Karno. Botol karbol dimaksudkan sebagai upaya Bung Karno menasihati kaum cecunguk.

Yang berikut, tidak kalah menariknya….

Karikatur ini dimuat Fikiran Ra’jat nomor 29, tanggal 9 Desember 1932. Saat itu pemerintah Belanda terus mengincar Bung Karno dan menyiapkan tempat pembuangan untuk pemimpin-pemimpin pergerakan Indonesia dengan semboyan “openhare orde”. Dalam nomor itu juga Bung Karno menulis artikel “Sosio Nasionalisme dan Sosio Demokrasi: yang menitikberatkan tentang sikap rakyat Indonesia untuk tidak membantu dan tidak berkooperasi dengan pemerintah jajahan.

Karikatur berikutnya….

Karikatur ini dimuat Fikiran Ra’jat nomor 28, tanggal 6 Januari 1933, di saat keadaan gawat. Belanda mulai menunjukkan kekejamannya terhadap setiap gerakan kemerdekaan. Sedangkan Bung Karno bertambah berapi-api menentang penjajahan. Simak, gambaran stelsel imperialisme yang hendak membawa lari “Ibu” (Indonesia), dikepung oleh rakyat. Pun dalam edisi tersebut, Bung Karno memuat tulisannya yang berjudul “Cooperatie tidak bisa mendatangkan massa actie dan maschtsvorming“.

Menarik pula karikatur yang berikut ini….

Karikatur ini dimuat Fikiran Ra’jat nomor 23, tanggal 2 Desember 1932. Saat itu Bung Karno secara berani dan tandas melalui rapat-rapat Partindo mengobarkan usaha mencapai Indonesia Merdeka, dan menunjukkan cara-cara bagaimana mengakhiri penjajahan Belanda di Indonesia. Koran-koran yang merupakan antek-antek Belanda seperti Java Bode – AID – Preanger Bode – dan Nieuws van den Dag telah berteriak-teriak meminta agar pemerintah kolonial Belanda menangkap Bung Karno dan membuangnya.

Terakhir, nikmati karikatur berikut:

Karikatur di atas merupakan kiriman pembaca majalah Fikiran Ra’jat dari Klaten, dan dimuat dalam penerbitan nomor 36, tanggal 3 Maret 1933. (roso daras)

Bung Karno “Forever”

Lebay? Ah, tidak juga. Beginilah realita bangsa kita. Sekalipun hampir empat dasawarsa Bung Karno wafat, tetapi namanya tetap berkibar-kibar. Bukan saja poster dan foto-foto Bung Karno laris manis dijual di berbagai lapak, di berbagai kota, tetapi juga menjadi lukisan bagian belakang bak truk. (www.politisi-indonesia.com)

Published in: on 20 Februari 2010 at 12:24  Comments (5)  
Tags: , ,

Singa Podium

Ekspresi Bung Karno

Ekspresi Bung Karno2

Ekspresi Bung Karno3

Ekspresi Bung Karno4

Ekspresi Bung Karno5

Ekspresi Bung Karno6

Fotografer majalah Life (Amerika) berhasil mengabadikan Bung Karno yang tengah berpidato. Ekspresi Bung Karno sebagai sang singa podium, begitu menonjol, hasil bidikan seorang fotografer senior. Hampir dapat dipastikan, si fotografer tidak akan bekerja keras menanti momen-momen penting buat melempar shoot demi shoot sehingga didapat aneka gambar yang ekspresif.

Mengapa begitu mudah menangkap gambar yang eye catching dari seorang Sukarno? Karena Bung Karno memang orator yang sadar posisi, sadar bentuk, sadar ekspresi. Ia menggunakan tangan, mimik, body language, dan properti apa saja yang bisa menunjang performanya sebagai sang orator.

Anda tentu masih ingat. Ketika ia masih sekolah di HBS Surabaya, tinggal kos di rumah HOS Cokroaminoto, hampir setiap hari ia tenggelam dalam berbagai literatur kelas dunia. Setelah menyerap intisarinya, ia suarakan dalam bentuk pidato yang berapi-api. Di mana ia berpidato? Di kamarnya yang pengap, lembab tak berjendela.

Ia berpidato di hadapan cermin. Ia mengulangi kata demi kata manakala dirasa ekspresi wajahnya tidak pas denga kalimat yang dilontarkan. Begitulah Bung Karno berlatih dan berlatih. Jangan dikira, kepiawaian berpidato Bung Karno hanya gift semata. Selain bakat dan anugerah Tuhan, Bung Karno adalah manusia yang sadar dengan kelebihannya, lalu mengasahnya menjadi lebih bermakna. (roso daras)

Published in: on 18 Oktober 2009 at 00:24  Comments (11)  
Tags: , , ,

Guntur Main Yoyo Bersama Julia

guntur dan julia, anaknya wapres Nixon main yoyo washington 56

Umur 12 tahun, Guntur diajak serta dalam kunjungan perdana Bung Karno ke Amerika Serikat. Dalam kunjungan selama kurang lebih tiga pekan itu, Guntur mengikuti hampir seluruh agenda non-formal bapaknya.Termasuk mengunjungi Hollywood, Disneyland, dan tempat-tempat lain.

Tidak hanya itu, Guntur juga sempat bersosialisasi dengan keluarga Wakil Presiden Nixon. Bahkan seperti tampak pada foto, Guntur tengah bermain yoyo bersama Julia, putri Wakil Presiden Nixon. Entahlah, apakah Guntur masih menjalin komunikasi dengan Julia Nixon? (roso daras)

bersam guntur di Disnayland

Published in: on 25 September 2009 at 05:20  Comments (1)  
Tags: , , , ,

Foto Fatma yang Langka dan Sarat Makna

fatmawati pidato 1946

Usianya baru 19 tahun ketika disunting Bung Karno. Bung Karno sendiri 41 tahun. Fatmawati, putri Hasan Din yang asli Bengkulu, menjadi first lady yang menorehkan sejarah. Dia menjahit dengan tangannya, Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan pada pagi 17 Agustus 1945.

Fatmawati, dinikahi Bung Karno pada era pendudukan Jepang. Ia mengikuti pasang dan surut perjuangan mencapai kemerdekaan. Dalam masa awal kemerdekaan, tak jarang Fatmawati yang memiliki penguasaan bagus dalam hal nilai-nilai keagamaan, tak jarang didaulat bericara di atas podium. Foto di atas, adalah koleksi majalah Life. Salah satu foto langka yang sarat makna. (roso daras)

Published in: on 13 Agustus 2009 at 13:21  Comments (6)  
Tags: ,

Ratna Sari Dewi, Sang Pujaan Hati

BK dan Dewi berkimono di Jepang

Bung Karno pernah ditulis wartawan suratkabar Amerika, sebagai pria yang gemar melirikkan mata kepada wanita-wanita cantik. Atas tulisan tersebut, Bung Karno menyangkal keras. “Yang benar adalah, Bung Karno menatap setiap perempuan cantik dengan kedua bulatan matanya….” Ia mengagumi setiap bentuk keindahan. Ia menarik nafas dalam-dalam setiap menatap hamparan pemandangan negerinya yang molek. Ia mengagungkan asma Allah setiap melihat wanita cantik ciptaanNya.

Terhadap wanita-wanita yang mengisi hatinya, semua mendapat tempat yang begitu mulia di hati Sukarno. Inggit Garnasih sebagai perempuan gigih, penyayang, dan mendukungnya sejak era pergerakan hingga menjelang Indonesia merdeka. Fatmawati? Ia gadis 19 tahun yang ceria, saat dinikahi. Fatma pun ditaburi cinta Sukarno, karena dia adalah penopang semangat Sukarno di awal-awal republik berdiri.

Hartini? Ah… dialah pembuat sayur lodeh paling enak di lidah Bung Karno. Kesadarannya sebagai “madu”, memposisikan Hartini menjadi seorang istri yang begitu berbakti. Karenanya, Bung Karno membalasnya dengan luapan asmara tiada tara. Tak heran jika dalam wasiatnya, Bung Karno ingin dimakamkan berdampingan dengan Hartini.

Kecantikan Ratna Sari Dewi

Bagaimana pula dengan Naoko Nemoto? Dialah geisha yang begitu sempurna di mata Sukarno. Kecantikannya begitu mempesona, sehingga tak kuasa Sukarno meredam hasrat cintanya yang berkobar-kobar. Gadis Jepang ini lahir tahun 1940, sebagai anak perempuan ketiga seorang pekerja bangunan di Tokyo. Ia lahir dari keluarga sederhana, sehingga Naoko harus bekerja sebagai pramuniaga di perusahaan asuransi jiwa Chiyoda, sampai ia lulus sekolah lanjutan pertama pada tahun 1955.

Setahun kemudian, ia mengundurkan diri, dan menekuni profesio geisha Akasaka’s Copacabana yang megah, salah satu kelab malam favorit yang sering dikunjungi para tamu asing. Ke kelab inilah Sukarno datang pada 16 Juni 1959. Bertemu Naoko, dan jatuhlah hatinya. Setelah itu, Bung Karno masih bertemu Naoko dua kali di hotel Imperial, tempat Bung Karno menginap. Akan tetapi, versi lain menyebutkan, pertemuan keduanya terjadi setahun sebelumnya, di tempat yang sama.

Usai lawatan dua pekan, Bung Karno kembali ke Jakarta. Tapi sungguh, hatinya tertinggal di Tokyo… hatinya melekat pada gadis cantik pemilik sorot mata lembut menusuk, sungging senyum yang lekat membekas. Seperti biasa, Bung Karno mengekspresikan hatinya melalui surat-surat cinta. Cinta tak bertepuk sebelah tangan. Isyarat itu ia tangkap melalui surat balasan Naoko.

bung karno dan ratna sari dewi

Tak lama, Bung Karno segera melayangkan undangan kepada Naoko untuk berkunjung ke Indonesia. Sukarno bahkan menemaninya dalam salah satu perjalanan wisata ke Pulau Dewata. Benih-benih cinta makin subur bersemi di hati keduanya. Terlebih ketika Naoko menerima pinangan Bung Karno, dan mengganti namanya dengan nama pemberian Sukarno. Jadilah Naoko Nemoto menjadi Ratna Sari Dewi. Orang-orang kemudian menyebutnya Dewi Soekarno.

Tanggal pernikahan keduanya, ada dua versi. Satu sumber menyebut, keduanya menikah diam-diam pada tanggal 3 Maret 1962, bersamaan dengan peresmian penggunaan nama baru: Ratna Sari Dewi berikut hak kewarganegaraan Indonesia. Sumber lain menyebut mereka menikah secara resmi bulan Mei 1964. Agaknya, sumber pertamalah yang benar.

Lepas dari kapan Bung Karno menikahi Ratna Sari Dewi, akan tetapi, cinta Bung Karno kepadanya begitu meluap-luap. Jika ia bertestamen agar dimakamkan di sisi makam Hartini, maka terhadap Ratna Sari Dewi, Bung Karno bertestamen agar dimakamkan dalam satu liang.

Faktanya, Hartini dan Ratna Sari Dewi yang begitu terlibat secara emosional pada hari terakhir kehidupan Bung Karno. Hartini yang setia mendampingi di saat ajal menjemput. Hartini pun tahu, dalam keadaan setengah sadar di akhir-akhir hidupnya, Bung Karno membisikkan nama Ratna Sari Dewi. Hal itu diketahui pula oleh Rachmawati.

Rachmawati, salah satu putri Bung Karno yang paling intens mendampingi bapaknya di akhir hayat, luluh hatinya. Tak ada lagi rasa “tak suka” kepada Hartini maupun Ratna Sari Dewi. Rachma sadar, ayahnya begitu mencintai Hartini dan Dewi, sama seperti besarnya cinta Bung Karno kepada Fatmawati, ibunya.

Buah asmara Bung Karno – Ratna Sari Dewi adalah seorang gadis cantik yang diberinya nama Kartika Sari Dewi atau akrab disapa Karina. Bung Karno sempat menimang bayi Kartika, meski jalan hidupnya tak memungkinkan untuk mendampinginya tumbuh menjadi gadis cantik, cerdas dengan jiwa sosial yang begitu tinggi. (roso daras)