Toto Suryawan SP dan “Laskar Marhaen”

Roso, Toto, Heni

Sabtu, 25 Desember 2012, saat Libur Natal, dua orang Sukarnois mengajak bertemu. Jadilah siang itu, saya ditemani rekan Sumarno, menerima dua orang Sukarnois di kantor Condet, Jakarta Timur. Dua orang itu masing-masing adalah anak biologis Bung Karno yang bernama Toto Suryawan Soekarnoputra, dan Hani Merliana, anak ideologis Bung Karno.

Apa yang kami rembug? Tidak jauh dari tema Bung Karno. Benar, kami membicarakan hal-ihwal tentang Sukarno dan Sukarnoisme, dan akhirnya mengerucut ke topik Marhaenisme. Toto Suryawan, putra tunggal Bung Karno dari istri Kartini Manoppo, cukup lama sebenarnya berkecimpung dalam politik praktis. Pernah dekat dengan lingkungan PDIP, dan sekarang duduk di pengurusan PNI Marhaenisme pimpinan Sukmawati.

Sekalipun nama Toto Suryawan tidak pernah di-declare sebagai putra Bung Karno, tetapi saudara-saudara sekandung dari ibu Fatmawati, Hartini, dan Ratna Sari Dewi memakluminya sebagai putra Bung Karno. Mereka pun bergaul relatif intens. Toto tampak hadir di sejumlah acara keluarga yang melibatkan putra-putri Bung Karno dari Fatmawati. “Orang tidak banyak mengenal saya sebagai putra Bung Karno. Buat saya tidak masalah. Saya sebagai putra biologis hanya concern bagaimana mengaplikasikan prinsip-prinsip hidup Bung Karno, serta berniat menyiarkan ajaran Bung Karno,” ujar Toto.

Seperti siang itu, dia antusias berbicara bagaiamana konsep marhaenisme yang sejatinya masih sangat relevan untuk diaplikasikan di bumi Indonesia. Dia bahkan sangat antusias ketika diajak membentuk semacam wadah pengkajian sekaligus sarana pengaplikasian ajaran-ajaran Bapaknya. Di wadah itulah, diharapkan akan terjadwal agenda-agenda sosialisasi ajaran Bung Karno, dengan menghadirkan narasumber-narasumber yang kompeten. Bahkan, di wadah itu pula dia memimpikan lahir karya nyata-karya nyata anggota dalam praktik kehidupan sehari-hari.

“Ini bukan wadah politik. Anggotanya, atau partisipannya bisa dari golongan mana saja. Kalau dia kader politik, tidak ada pembatasan dari parpol mana, tidak menyoal keyakinan dan agama… intinya ini wadah plural,” tegas Toto Suryawan.

Wadah itu ditunggangi sebuah pamrih, tentang kebutuhan akan lahirnya satu wadah Sukarnois yang bebas dari kepentingan politik, dan semata-mata mempropagandakan Bung Karno beserta semua ajarannya. Kami, berempat, menyepakati gagasan itu. Dan berharap, dalam waktu dekat, wadah itu terwujud, diikuti segala agenda kongkrit. (roso daras)

Mbah Hadi pun Meninggalkan Bung Karno

Mbah Hadi

Ini adalah fragmen lanjutan tentang Mbah Hadi, Haji Hadi Sukismo, seorang pengawal spiritual Bung Karno. Saat dijumpai di kediamannya, Bakulan Wetan, RT 04/RW 04, Desa Patalan, Kecamatan Jetis, Bantul Akhir november 2012, mbah Hadi masih kelihatan bugar. Pria kelahiran 12 Juli 1908 itu, juga masih sesekali turun ke sawah, menggarap sebidang lahan hasil jerih payahnya menjadi petugas keamanan kampung.

“Sekitar tahun 1962, saya memutuskan meninggalkan Bung Karno, pulang ke Jogja menjadi petani. Saya tidak membawa apa-apa dari Jakarta. Saya juga tidak meminta apa-apa dari Bung Karno,” ujar Mbah Hadi.

Saat diminta menceritakan, apa alasan dia meninggalkan Bung Karno, dia sejenak terdiam dan mata tuanya menerawang ke atas. “Ini cerita lama, tetapi tidak apa-apa saya ungkap. Ketika itu, firasat batin saya tidak enak. Makin hari, perasaan tidak enak itu tertuju ke orang dekat Bung Karno, orang yang justru sangat bertanggung jawab terhadap keselamatan Bung Karno….” ujar Hadi, tanpa menyebut nama,

Karena penasaran, saya menyebutkan nama, “Siapa Mbah? Siapa orang yang panjenengan firasati tidak enak? Apakah ajudan Bung Karno?”, Hadi spontan menjawab, “Bukan!”, lalu diam. Suasana hening. Saya yang datang berempat, juga diam. Tidak satu pun yang berniat mengusik “diam”nya mbah Hadi. Sampai saya habis kesabaran dan menanyakan lagi, “Lalu siapa mbah? Apa pak Mangil?”, spontan mbah Hadi menggeleng, “Bukan!”. Saya kejar lagi, “Brigjen Sabur?”, dia menatap saya dan menjawab, “Ya!”

Dalam sebuah percakapan di tahun 62-an, Hadi matur ke hadapan Bung Karno, “Sabur sudah terlalu lama di dalam. Dia akan lebih bermanfaat buat Bapak, kalau ditempatkan di luar Istana.” Dalam banyak hal, menurut pengakuan Hadi, Bung Karno banyak mendengar saran-saran Hadi, tapi untuk saran tentang Sabur, Bung Karno tidak sependapat. “Sabur itu pinter. Dia lebih baik di dekat saya!”

Merasa sarannya tidak didengar, Hadi dengan lugunya mengatakan kepada Bung Karno, “O, ya sudah. Kalau begitu besok saya pulang ke Jogja….”

Sampai di situ, Mbah Hadi terdiam lagi. Cukup lama. Padahal saya penasaran sekali untuk mendengar apa reaksi Bung Karno demi mendengar niat Hadi pulang ke Jogja, yang itu berarti tidak lagi menjadi pengawalnya. Rupanya, tidak keluar jawab kalau tidak diajukan pertanyaan, “Apa kata Bung Karno, mbah?”

“Dia diam saja. Ya saya besoknya langsung pulang. Saya tinggalkan semua fasilitas kendaraan, sopir, bahkan pengawal saya. Saya pulang ke Jogja tidak membawa apa-apa. Saya juga tidak menerima pesan apa-apa dari Bung Karno. Dia diam saja,” tutur Hadi.

Entah firasat Hadi yang benar, entah kepastian jalannya sejarah… ketika Gestok meletus tahun 1965, tiga tahun setelah Hadi menyampaikan firasatnya ke Bung Karno, memang kemudian melibatkan pasukan Cakrabirawa pimpinan Sabur.

Dari lebih tiga jam berbincang dengan Mbah Hadi, memang belum banyak yang bisa dikorek. Saya berniat mendatanginya lagi suatu saat. Selain masih penasaran dengan kisah-kisah human interest antara Hadi Sukismo dan Bung Karno, juga berharap ada serpihan sejarah lian yang bisa diungkap. (roso daras)

Published in: on 25 Desember 2012 at 05:07  Comments (5)  
Tags: , ,

Hadi Sukismo, Pengawal Spiritual Bung Karno

HadiIni adalah salah satu bagian dari sejarah yang tercecer. Bung Karno, banyak dikelilingi pengawal. Nah, pengawal ini pengertiannya ada yang ofisial, dalam arti organik di struktur Detasemen Kawal Presiden (DKP), ada juga yang non-organik. Artinya, pengawal khusus. Disebut pengawal khusus, yaaa karena tidak ada dalam struktur DKP.

Ini adalah sekelumit kisah dari seorang Hadi Sukismo, seorang pengawal khusus Bung Karno, yang bekerja sejak tahun 1950 sampai tahun 1962. “Saya waktu sedang bekerja di pabrik gula sebagai mandor tebu. Tiba-tiba datang surat dari pak Juanda yang meminta saya datang ke Jakarta, menghadap Bung Karno untuk jadi pengawal beliau,” ujar Mbah Hadi, begitu ia akrab disapa, mengawali kisah-mula ia menjadi pengawal khusus Bung Karno.

Keesokan harinya, Mbah Hadi bertolak ke Jakarta naik kereta api. Setiba di Jakarta, ia langsung menuju ke Istana. “Wah, waktu itu saya disuruh menunggu hampir seharian. Pertama datang, pengawal menanyakan siapa saya, apa keperluannya datang ke Istana, dan pertanyaan-pertanyaan khas petugas Istana yang penuh curiga…. Yaaa, saya kasih saja surat dari pak Juanda, saya bilang, ‘baca sendiri surat ini’,” ujar Mbah Hadi sambil mengepulkan asap rokok Ji-Sam-Soe.

Demi membaca surat pengantar Juanda, petugas itu sontak berubah sikap lebih lunak. “Tapi ya tetap saja saya disuruh nunggu. Nunggu lamaaaa sekali…. Hampir sore baru saya diterima petugas pengawal Bung Karno. Jadi saya belum ketemu Bung Karno pada hari itu,” katanya.

“Saudara bersedia menjadi pengawal Presiden?,” tanya petugas.

“Saya bersedia,” jawab Hadi.

“Baik. Mari ikut kami,” ujar petugas sambil mengajak Hadi pergi.

Sore itu, Hadi dibawa tim pengawal naik mobil menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Di tengah perjalanan, seorang petugas menunjukkan foto lelaki kekar asal Papua. Hadi ditugaskan menangkap lelaki yang diduga sebagai pelaku kejahatan di kapal. “Saya cuma mbatin, ah… mungkin untuk jadi pengawal Bung Karno, inilah ujian yang harus saya lewati,” kenang Hadi.

Benar. Tak lama kemudian, sebuah kapal merapat di pelabuhan Tanjung Priok. Di antara para penumpang yang turun, salah satunya adalah “target” yang harus diringkus. Begitu ia melihat “tersangka”, Hadi diperintahkan untuk menangkap. Ia pun turun dan menjemput lelaki itu. Tak ada rasa takut sedikit pun, sekalipun sebelumnya ia diberi tahu, bahwa tidak ada orang yang sanggup menangkapnya.

Begitu Hadi mendekati “tersangka”, ia langsung bilang, “Berhenti. Saudara kami tangkap. Mari ikut kami.” Belum sempat lelaki tadi beraksi melakukan perlawanan, Hadi sudah berhasil memegang tangannya, dan membantingnya seketika. “Saya tidak merasakan berat. Enteng saja saya banting dia,” kata Hadi yang berperawakan cukup besar untuk ukuran orang Indonesia.

Heran bin ajaib, penjahat itu tidak melawan. Ia menatap Hadi dengan ketakutan, dan menyerah digelandang petugas. Di kemudian hari, Hadi tahu, ia terbukti melakukan sejumlah kejahatan di kapal. “Saya lupa, kalau tidak salah ia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara,” kata Hadi.

Bagaimana kisah selanjutnya? Tunggu. (roso daras)

Published in: on 18 Desember 2012 at 10:55  Comments (9)  
Tags: , , ,

Senja Kala Marhaenisme

pni marhaenismeUntuk sekian lama, Marhaenisme menjadi asas partai, ya…. asas Partai Nasionalis Indonesia (PNI). Sejak fusi tahun 1975, di mana pemerintah Orde Baru menggabung-gabungkan partai politik hingga hanya ada tiga parpol di Indonesia (PPP, Golkar, PDI), praktis PNI pun lebur ke dalam wadah baru, PDI bersama sejumlah parpol nasionalis lain.

Untuk sekian lama, setidaknya lebih tiga dasawarsa, marhaenisme seolah terkubur. Semua parpol menggunanakan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Itu artinya, PDI (sekalipun massa terbesar dari PNI), harus menanggalkan ideologi marhaenismenya. Dengan kata lain, mayoritas generasi muda sekarang, tidak paham marhaenisme.

Apakan itu sebuah kesalahan? Sama sekali tidak. Selain marhaenisme memang dikubur oleh Orde Baru, segala bacaan, referensi tekstual maupun oral juga langka. Ironisnya, buku-buku marxisme-leninisme dan banyak referensi buku sosialisme lain beredar luas di masyarakat kita dewasa ini.

Kondisi paradoksal di atas, tentu saja makin menenggelamkan marhaenisme lebih dalam lagi. Kehadiran angin reformasi yang membuka kembali keran parpol baru, telah melahirkan Partai Nasional Indonesia (PNI), bahkan kalau tidak keliru pernah sampai ada 3 (tiga) PNI ikut Pemilu. Ada PNI, PNI Front Marhaenis, dan PNI Massa Marhaen. Pada Pemilu 2004 ketiganya bergabung dengan terget meraih dukungan lima besar di Indonesia, tetapi gagal total.

Kegagalan itu bukan tanpa sebab. Sebab faktual dan terbilang klasik adalah, paham marhaenisme sudah lama terkubur. Lebih menyedihkan seandainya mayoritas pengurus PNI belum paham sejarah marhaenisme, marhaenisme sebagai ideologi, marhaenisme sebagai asas perjuangan. Bisa saja mereka telah mendapatkan buku pintar, tetapi ini persoalan ideologi. Tanpa usaha meresapkan, menghayatkan, dan mempraktekkan, niscaya akan sulit untuk menjadi darah yang mengalir dalam jiwa dan raganya.

Itu berarti, PNI sebagai partai politik dengan ideologi marhaenisme, tentu akan mengalami kesulitan manakala menugaskan segenap pengurus dan kadernya untuk “berjualan” kepada massa pemilih dalam Pemilu. Bagi kalangan tua, yang kebetulan berafiliasi ke PNI, barangkali mendengar sebutan “marhaen” atau “marhaenisme” sudah merasa tergetar hatinya. Sebaliknya, massa muda, pemilih pemula, tidak demikian halnya.

Itu artinya, marhaenisme harus kembali digali, di-syiar-kan, diramai-ramaikan, didiskusikan, diangkat ke permukaan… semua usaha untuk merevitalisasi ajaran Bung Karno. Marhaenisme sebagai bentuk sosialisme-Indonesia, harus diaktualisasikan dalam kondisi terkini dan mendatang. Roda zaman terus berputar. Mengangkat ideologi marhaenisme dengan cara “copy-paste”, dijamin tidak akan kena.

Apakah itu berarti ajaran tentang Marhaenisme sudah tidak lagi mengena di masyarakat Indonesia saat ini dan mendatang? Itu sebuah pertanyaan besar. Tetapi dengan keyakinan bahwa Bung Karno menggali marhaenisme dari lubuk hati bangsa Indonesia, maka saya pribadi sangat yakin, spirit marhaen sejatinya ada di dasar sanubari anak bangsa Indonesia, dari Sabang hingga Merauke. Persoalannya adalah, diperlukan strategi jitu dan cerdas untuk menggalinya. (roso daras)

Published in: on 3 Desember 2012 at 04:45  Comments (11)  
Tags: , , , , ,

Benang Merah Pidato Bung Karno (4-Selesai)

Jas-merahBerikut bagian ke-4 dari empat bagian nukilan pidato Bung Karno. Periode ini mengutip pidato Bung Karno periode 1961 – 1966. Setelah itu Bung Karno tidak lagi tampil membahana di podium peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus. Pidato tahun 1966 adalah pidato kenegaraan terakhirnya.

1961: Revolusi – Sosialisme Indonesia – Pimpinan Nasional (Resopim)

“…perlunya meresapkan adilnya Amanat Penderitaan Rakyat agar meresap pula tanggung jawab terhadapnya serta mustahilnya perjuangan besar kita berhasil tanpa Tritunggal Revolusi, ideologi nasional progresif dan pimpinan nasional.

1962: Tahun Kemenangan (Takem)

“kulancarkan gagasan untuk memperhebat pekerjaan Front Nasional, untuk menumpas perongrongan revolusi dari dalam, dan bahwa revolusi kita itu mengalami satu “selfpropelling growth” – satu, yaitu maju atas dasar kemajuan, mekar atas dasar kemekaran.

1963: Genta Suara Revolusi Indonesia (Gesuri)

“Tiada revolusi kalau ia tidak menjalankan konfrontasi terus-menerus dan kalau ia tidak merupakan satu disiplin yang hidup, bahwa diperlukan puluhan ribu kader di segala lapangan. Bahwa Dekon harus dilaksanakan dan tidak boleh diselewengkan karena “Dekon adalah Manipolnya ekonomi”, bahwa abad kita ini “abad nefo” dan saya mengambil inisiatif untuk menyelenggarakan Conefo dan akhirnya tahun yang lalu.”

1964: Tahun Vivere Pericoloso (Tavip)

“Kuformulasikan 6 hukum revolusi, yaitu bahwa revolusi harus mengambil sikap repat terhadap lawan dan kawan, harus dijalankan dari atas dan dari bawah, bahwa destruksi dan konstruksi harus dijalankan sekaligus, bahwa tahap pertama harus dirampungkan dulu kemudian tahap kedua, bahwa harus setia kepada Program Revolusi sendiri yaitu Manipol, dan bahwa harus punya sokoguru, punya pimpinan yang tepat dan kader-kader yang tepat, juga kuformulasikan Trisakti “berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan”.

1965: Capailah Bintang-bintang di Langit (Tahun Berdikari)

“Lima Azimat”: Nasakom (1926), Pancasila (1945), Manipol/Usdek (1959), Trisakti Tavip (1964), dan Berdikari (1965)- sebenarnya hanyalah hasil penggalianku, yang dua pertama dari masyarakat bangsaku, dan tiga terakhir dari Revolusi Agustus. Kelima pokok instruksiku itu harus terus disebar-sebarkan, diresapkan, diamalkan, sebab dari terlaksana-tidaknya instrukti itu tergantung pula baik tidaknya Front Nasional di hari-hari yang akan datang, baik tidaknya persatuan bangsa di hari-hari yang akan datang”.

1966: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Jasmerah)

Abraham Lincoln, berkata: “one cannot escape history, orang tak dapat meninggalkan sejarah”, tetapi saya tambah : “Never leave history”. inilah sejarah perjuangan, inilah sejarah historymu. Peganglah teguh sejarahmu itu, never leave your own history! Peganglah yang telah kita miliki sekarang, yang adalah AKUMULASI dari pada hasil SEMUA perjuangan kita dimasa lampau. Jikalau engkau meninggalkan sejarah, engkau akan berdiri diatas vacuum, engkau akan berdiri diatas kekosongan dan lantas engkau menjadi bingung, dan akan berupa amuk, amuk belaka. Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap.

Begitulah. Tahun 1967 adalah tahun kemunduran. Tahun klimaks usaha pembunuhan terhadap Sukarno oleh anak bangsanya sendiri. Indonesia Raya diruntuhkan, di atasnya berdiri bangunan kapitalis bernama Orde Baru. Sejak itu, berubahlah Indonesia, dari sebuah bangsa berdikari menjadi bangsa yang kembali “terjajah” oleh asing. Hingga hari ini. (roso daras)

Published in: on 2 Desember 2012 at 15:51  Comments (6)  
Tags: , , , , , ,

Benang Merah Pidato Bung Karno (3)

bung-karno2Ini bagian ke-3 dari empat bagian nukilan pidato-pidato kenegaraan Bung Karno.

1956: Berilah Isi Kepada Hidupmu

“Sekali kita berani bertindak revolusioner, tetap kita harus berani bertindak revolusioner…. Jangan setengah-setengah, jangan ragu-ragu, jangan mandek setengah jalan… kita adalah satu ‘fighting nation’ yang tidak mengenal ‘journey’s end’.'”

1957: Satu Tahun Ketentuan

Revolusi Indonesia benar-benar revolusi rakyat…. Tujuan kita masyarakat adil dan makmur, masyarakat “rakyat untuk rakyat”. Karakteristik segenap tindak-tanduk perjuangan kita harus tetap karakteristik Rakyat… demokrasi Rakyat, demokrasi ‘matleiderschap’, demokrasi terpimpin!”

1958: Tahun Tantangan

“Rakyat 1958 sekarang sudah lebih sadar… tidak lagi tak terang siapa kawan siapa lawan, tidak lagi tak terang siapa yang setia dan siapa pengkhianat… siapa pemimpin sejati, dan siapa pemimpin anteknya asing… siapa pemimpin pengabdi Rakyat dan siapa pemimpin gadungan. Dalam masa tantangan-tantangan seperti sekarang ini, lebih daripada di masa-masa yang lampau, kita harus menggembleng-kembali Persatuan….”

1959: Penemuan Kembali Revolusi Kita

(Pidato ini kemudian diperkuat oleh seluruh rakyat bangsa dan disahkan sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia — Manipol). “Kurumuskan tiga segi kerangka Revolusi kita dan ‘5 persoalan-persoalan polok Revolusi Indonesia’ yaitu: Dasar/tujuan dari kewajiban-kewajiban Revolusi Indonesia, kekuatan-kekuatan sosial Revolusi Indonesia, sifat Revolusi Indonesia, hari-depan Revolusi Indonesia, dan musuh-musuh Revolusi Indonesia.”

1960: Laksana Malaikat yang Menyerbu dari Langit, Jalannya Revolusi Kita (Jarek)

“… perlunya, mungkinnya, dan dapatnya bersatu Nasionalisme, Agama, dan Komunisme, harus satunya kata dan perbuatan bagi kaum yang betul-betul revolusioner, mutlak perlunya dilaksanakan land-reform sebagai bagian mutlak Revolusi Indonesia, mutlak perlunya dibasmi segala phobi-phobian terutama sekali Komunisto-Phobi; perlunya dikonfrontasikan segenap kekuatan nasional terhadap kekuatan-kekuatan imperialis-kolonialis; dan keharusannya dijalankan revolusi dari aas dan dari bawah.”

Tampak pada periode lima tahun di atas, Bung Karno mulai mengksirtalkan pondasi berbangsa dan bernegara. Di sisi lain, Indonesia sebagai negara merdeka, masih belum lepas dari rongrongan asing yang menyokong setiap aksi separatis dengan berbagai dalihnya. Tetapi sejarah juga mencatat, bahwa di periode ini segala bentuk gerakan separatis berhasil ditumpas.

Sebagai bapak bangsa, bapak bagi semua elemen bangsa, Bung Karno juga merangkul para pengkhianat, para separatis untuk kembali ke pangkuan Tanah Air. Ke depan, Bung Karno terus menggelegarkan aroma permusuhan terhadap semua bentuk konolialisme dan imperialisme baru, termasuk menggugat masih bercokolnya Belanda di bumi Irian Barat. (roso daras/Bersambung)

Published in: on 2 Desember 2012 at 08:01  Comments (1)  
Tags: ,

Benang Merah Pidato Bung Karno (2)

bung karno pidato2Berikut nukilan pidato Bung Karno, sebagai kelanjutan dari posting judul yang sama sebelumnya. Sekali lagi, nukilan ini cukup penting, setidaknya guna menarik satu benang merah, tentang alur pikir, konsepsi, dan garis perjuangan Bung Karno, khususnya setelah dia berhasil memerdekakan bangsa Indonesia serta memimpin bangsa ini sebagai Presiden.

1951: Capailah Tata-Tentrem-Kerta-Raharja

“Adakanlah koordinasi, adakanlan simfoni yang seharmonis-harmonisnya antara kepentingan-sendiri dan kepentingan-umum, dan janganlah kepentingan-sendiri itu dimenangkan di atas kepentingan-umum!”.

1952: Harapan dan Kenyataan

“Kembali kepada jiwa proklamasi… kembali kepada sari-intinya yang sejati, yaitu pertama jiwa merdeka-nasional… kedua jiwa ikhlas… ketiga jiwa persatuan… keempat jiwa pembangun”.

1953: Jadilah Alat Sejarah!

“Bakat persatuan, bakat ‘gotong-royong’ yang memang telah bersulur-akar dalam jiwa Indonesia, ketambahan lagi daya-penyatu yang datang dari azas Pancasila”.

1954: Berirama dengan Kodrat

“Dengan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ dan Pancasila, kita prinsipil dan dengan perbuatan, berjuang terus melawan kolonialisme dan imperialisme di mana saja”.

1955: Tetap Terbanglah Rajawali

“Panca Dharma”: Persatuan bangsa harus kita gembleng… tiap-tiap tenaga pemecah persatuan harus kita berantas… pembangunan di segala lapangan harus kita teruskan… perjuangan mengembalikan Irian Barat pada khususnya, perjuangan menyapu bersih tiap-tiap sisa imperialisme-kolonialisme pada ummnya, harus kita lanjutkan… pemilihan umum harus kita selenggarakan”.

Nafas konsistensi jelas terbaca di sana. Perang dan spirit memberantas imperialisme-kolonialisme di satu sisi, serta membangun dignity di sisi yang lain, berjalan paralel menuju bangsa yang besar. (roso daras/Bersambung)

Published in: on 2 Desember 2012 at 06:49  Comments (1)  
Tags: , ,