Haji Achmad Notosoetardjo, sering ditulis singkat HA Notosoetardjo, adalah seorang penulis, sejarawan, dan tentu saja Sukarnois (ehemm…). Namanya tidak sebesar Adam Malik atau Sayuti Melik atau Jusuf Ronodipuro atau BM Diah… tetapi sesungguhnya Notosoetardjo adalah satu nama yang patut dikenal dan dikenang.
Ada banyak karya buku yang dia tulis, tetapi sayangnya, saya hanya punya satu saja karya dia: “Bung Karno dihadapan Pengadilan Kolonial”. Ini buku yang cukup lengkap memuat proses persidangan Landraad, dan kemudian dikenal dengan “Indonesia Menggugat”. Itulah pengadilan kolonial Belanda kepada empat sekawan aktivis PNI: Bung Karno, Gatot Mangkupraja, Maskoen Soemadiredja, dan Supriadinata.
Tanya jawab antara Bung Karno dan pesakitan lain dengan Hakim Pengadilan Mr Siegenbeek van Heukelom dituang runtut pada setiap persidangan. Termasuk, tentu saja, memuat pledoi (pembelaan) Bung Karno yang terkenal itu (Indonesia Menggugat). Persidangan ini bukan saja menggemparkan kaum Republiken, tetapi juga bergema sampai ke Den Haag. Pusat pemerintahan Belanda menaruh perhatian khusus. Kaum oposisi di Belanda sana, mengangkat kasus ini besar-besar sebagai kritik atas kegagalan pemerintah Belanda mengendalikan salah satu negara koloninya, Hindia Belanda.
Guna menyusun buku ini, Notosoetardjo tampak betul telah mendedikasikan dirinya penuh guna terhimpunnya bahan-bahan yang relevan. Bahkan dalam kata pengantar, Notosoetardjo sedikit “curhat”, bahwa untuk keperluan penyusunan buku, penghimpunan data, ia harus berkorban tidak hanya pikiran, tenaga, dan waktu, tetapi juga dana. Bahkan ia mengilustrasikan, jika mau, dana yang dikeluarkannya cukup untuk membangun sebuah villa di Puncak, untuk beristirahat bersama keluarga.
Apa yang dilakukan Notosoetadjo? Ia konsisten dengan pekerjaan menyusun buku. Terlebih ketika ia sudah bertemu satu per satu pelaku sejarah yang ia tulis. Dari Maskoen misalnya, ia mendapat wejangan yang membuatnya bersemangat. Begini kalimat Maskoen saat bertemu dengannya:
“Penangkapan-penangkapan, hukuman penjara, hukum gantung-tembak sampai mati, pembuangan dan lain-lain siksaan yang dilakukan oleh si penjajah terhadap kaum pergerakan sudah biasa dan setiap pemimpin pergerakan revolusioner di waktu itu sudah memperhitungkan sebelumnya. Sebab itu penjara dan penderitaan-penderitaan merupakan batu ujian terhadap iman dan watak para pemimpin. Sejarah kolonialisme Belanda di Indonesia banyak berlumuran darah dan air mata, menimbulkan kesengsaraan dan malapetaka. Sebab itu ia melahirkan Amanat Penderitaan Rakyat, suatu Amanat yang ditaati secara patuh oleh patriot-patriot Indonesia yang tulangnya kini berserakan di atas pangkuan Ibu Pertiwi.”
Bahwa sesungguhnya, kemerdekaan yang kita hirup, tak lepas dari tulang-tulang patriot bangsa. Bahwa kebebasan yang kita rasakan, tak lepas dari kekuatan iman dan watak revolusioner para pahlawan kita.
Maka, terkutuklah pejabat dan wakil rakyat yang tidak pernah belajar sejarah! Semoga laknat bagi mereka yang mengemban amanah rakyat tetapi menyalahgunakannya. (roso daras)
Pejabat” sekarang yang notabene masih mengikuti warisan orba, sudah buta mata dan telinga….
Sama sekali jauh dari pakem para pendahulu yang telah bersusah payah mendirikan Negara Indonesia ini…
Tapi itu semua merupakan pembelajaran buat Rakyat Indonesia, yang begitu lama terninabobokan kasat mata ke-ma terialisan…
Tinggal tunggu saatnya kehancuran total,, sampai muncul kembali Pemimpin yang akan merubah, merombak segala jenis kemudhorotan di bumi Indonesia ini…..
“Dari yaqin kuteguh…
Hati ikhlas ku penuh,
akan karunia MU….
Tanah air pusaka…
Indonesia Merdeka,
syukur aku sembahkan….
Kehadiratmu Tuhan…
MERDEKA …. !!!!!!
Saya sebagai seorang pelajar merasakan kurangnya pengetahuan tentang sejarah perjuangan bangsa yang sangat mengagumkan ini. Padahal sejarah adalah sebuah hal yang tidak boleh dilupakan.
Diantara teman saya hanya sedikit yang mengerti tentang pentingnya sejarah, bahkan saat guru sejarah saya menanyakan siapa yang tidak suka sejarah, hampir semua murid mengangkat tangannya. Ini sungguh memprihatinkan, artinya penerus bangsa ini adalah orang yang tidak mempelajari sejarah juga.
Saya mohon bantuannya agar bisa mencoba membuat mereka peduli terhadap sejarah, karena pengetahuan saya sangatlah sedikit dan saya hanya seorang pelajar yang mempunyai banyak kesalahan. Tpi saya janji ingin membuat teman-teman sya peduli terhadap sejarah.
Selama orang” soeharto dgn orba nya masih mendominasi mengurat mengakar, maka Nonsens kejujuran dan kelugasan dalam mengalirkan alur sejarah yang sebenarnya, sampai detik ini.
Karena pemanipulasian dari banyak sisi yg telah ditanamkan sekian lama, terutama berhubungan dgn sejarah pasca BK di jatuhkan dengan konspirasi licik tingkat tinggi, yang diperankan oleh Pengkhianat” dlm Negeri sendiri.
Dan generasi sekarangpun masih ter-brainwash oleh penerus Pengkhianat” yg masih kuat secara finansial menguasai berbagai aset, terutama media, untuk kepentingan” mereka semua.
Yang intinya jelas” mengeruk dan meng-eksploitasi Negeri ini dari banyak sisi ….
Bukti kongkrit nya, Pengkhianat yg belum lama mati, bak Pahlawan di beritakan.
Sampai Presidenpun melayatnya.
Karena masih bagian/penerus dari para Pengkhianat” tsb.
Sunguh Ironis INDONESIA Ini ……
yg ente maksud sudomo yah gan 🙂 lha di AL sendiri (khususnya marinir) eneg banget ama neeh manusia….ali sadikin sempet mengolok-olok sudomo…” mo..mo elo ama gw tuaan gw rambut lu udah pada putih mikirin apa loe”
saya bangga dengan buku ini karna ini salah satu buku yg di buat oleh kakek saya sendiri .HA.notosoetardjo
Arya, sebagai cucu, apakah masih menyimpan koleksi buku-buku kakek-nda? Jika masih ada, saya mau mohon ijin meng-copy-nya.
Roso Daras,
Sebelumnya terima kasih atas tulisan Anda. Saya merasa bangga dan terharu melihat resensi buku Kakek kami.
Tulisan di kata pengantar itu benar adanya. Tanah keluarga di puncak tidak pernah dibangun villa.
Menjawab pertanyaan pada Arya, kami masih menyimpan buku-buku Kakek, di kediaman keluarga di Jakarta.
Edwina MS
Terima kasih komentarnya. Jika diperkenankan, bolehkah kiranya saya meng-copy buku-buku kakek Anda (H.A. Notosoetardjo)?.
Terima kasih.
Boleh, tapi kami agak kesulitan karena hanya Nenek yang tinggal di rumah keluarga, dan kami masih menginventarisir buku-buku tersebut. Kalau mau, email ke saya saja dulu, nanti bisa di follow up. Saya mohon izin link ke tulisan ini di blog saya.
Terima kasih