Agustus 1990, pertama kali saya menginjakkan kaki di Hong Kong. Ketika itu, saya ke sana dalam rangka peliputan dua momen yang terbilang penting. Pertama, menjelang normalisasi hubungan diplomatik RI – RRC, dan kedua, hajat Asian Games di Beijing. Terbayang saat-saat sebelum berangkat, begitu pelik urusan visa karena Indonesia memang tidak ada hubungan diplomatik yang diputus Soeharto pasca G-30-S/PKI.
Belum lagi ditambah kewajiban menjalani screening di Bakin. Memasuki markas Bakin di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan saja rasanya begitu menyeramkan. Setelah melalui banyak pintu dan prosedur, bertemulah saya dengan perwira Bakin. Bicara banyak hal tentang banyak hal juga. Kesannya ngobrol. Lebih 30 menit, saya dipersilakan pulang.
Rupanya, 30 menit ngobrol itulah mekanisme screening untuk wartawan yang hendak berkunjung ke negara komunis, yang belum memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia. Saat itu, komunis masih menjadi momok. Bahkan, bagi penguasa, masih menjadi “senjata” ampuh untuk menutup ruang gerak ekstrim kiri yang mencoba mengkritisi pemerintahan Orde Baru.
Selan beberapa tahun kemudian, memalui perbincangan dengan para sesepuh nasionalis, mulailah terbuka persepsi saya tentang Cina dari kacamata seorang Sukarno. Dalam rapat-rapat kabinet di era Sukarno, tidak sedikit elite negara yang membisikkan tentang “ancaman” komunisme. Tentang bahaya laten komunis. Tentang kemungkinan komunis kembal melakukan gerakan ekstrim untuk mengganti ideologi Pancasila.
Termasuk, dialog-dialog para menteri, pembantu Bung Karno yang acap mengerem langkah Sukarno manakala mereka nilai terlalu dekat ke Cina. Sebab, pada saat itu, Bung Karno memang memainkan peran “non blok” dengan sangat gagah berani. Dia tidak bisa didikte Barat. Manakala Barat menyodorkan bantuan dengan pamrih “demokratisasi ala Barat” dan persyaratan lain, segera Bung Karno berpaling ke Timur, dan bantuan pun mengalir dari arah Timur.
Yang menarik adalah, elite politik di sekeliling Bung Karno pun tidak sedikit yang “ketakutan” atas sikap Bung Karno yang cenderung ke blok komunis. Dalihnya tentu saja, khawatir jika komunisme makin tumbuh subur di Indonesia, dan pada akhirnya akan kembali melakukan aksi kudeta serta mengganti ideologi negara dari Pancasila menjadi komunisme.
Atas semua “peringatan” itu, Bung Karno tak jarang meradang. Dia mengatakan, Cina hanya dilihat dari sisi ideologi komunisme. Itu keliru. “Tunggu, nanti, pada saatnya. Cina akan bangkit menjadi negara kapitalis terbesar di atas bumi ini.”
Saat Bung Karno mengatakan hal itu, tentu saja dinilai aneh. Tetapi, lagi-lagi, ketika saat ini kita melihat Cina bangkit, persis seperti yang dikatakan Bung Karno, telah menjelma jadi raksasa ekonomi dunia. Bukan hanya Hong Kong, Guangzhou, dan sejumlah kawasan lain yang begitu kosmopolit, Cina kini menjadi satu-satunya negara dengan segala kebesarannya. Besar wilayahnya, besar penduduknya, bisa kapitalisasi ekonominya, dan besar pula pertumbuhannya.
Bukan hanya penduduk Indonesia yang tercengang, dunia pun tercengang, bahkan warga Cina sendiri tercengang. Teringat betapa tahun 1990, banyak sekali warga Hong Kong yang bersiap-siap atau setidaknya mempersiapkan diri untuk eksodus menjelang pengembalian teritori Hong Kong dari Inggris kepada si empunya wilayah RRC. Tidak sedikit warga Hong Kong yang ketika itu sudah hidup dalam gelimang kapitalisme, begitu ketakutan dengan “hantu” komunisme dengan segala stigma negatif yang melekat.
Tentu saja, mereka keliru. Sebab, Hong Kong bukannya “makin komunis” tetapi jauh lebih kapitalistis saat ini. Bahkan, kota Guangzhou, yang hanya berjarak 3 jam perjalanan darat dari Hong Kong, telah menjadi pusat grosir terbesar di dunia. Seorang teman yang bertemu di Hong Kong baru saja bercerita, ia baru saja pulang dari Guangzhou dan membeli laptop Toshiba Portege seri terbaru hanya dengan harga 2.900 yuan, kurang dari lima juta rupiah!
Masih teman yang sama, baru-baru ini menemani seorang teman yang lain dari Jakarta, datang membawa uang senilai Rp 15 juta, dan pulang dengan tiga kopor penuh barang aneka rupa, dan ludes dijual kembali di Indonesia dengan total keuntungan bersih Rp 10 juta. Hmmm, sejatinya, saya sedang tergiur juga untuk mencicipi kemakmuran Cina…. (roso daras)