SELAMAT IDUL FITRI 1432 H

Published in: on 30 Agustus 2011 at 17:33  Comments (1)  

Tumpas Pemberontakan PKI Madiun dalam Dua Minggu

Penumpasan pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948, tak lepas dari peran penting Panglima Besar Jenderal Soedirman. Pas tanggal 18 September 1948, saat matahari condong ke barat, kabar itu sampai ke pemerintah pusat di Yogyakarta. Kabar gawat, yang mewartakan meletusnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun.

Saat berita itu tiba di Istana (waktu itu dikenal dengan sebutan Gedung Agung), Panglima Soedirman tengah berada di Magelang. Yang pegang kendali ketika itu adalah Kolonel AH Nasution selaku Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Dialah yang segera dipanggil Presiden Sukarno menghadapnya di Gedung Agung.

Kepada Presiden Sukarno, ia memaparkan rencana operasi penumpasan pemberontakan PKI di Madiun. Di sela-sela rapat di Gedung Agung, yang antara lain juga dihadiri Menko Keamanan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Segera setelah tuntas Nasution memaparkan konsep penumpasan pemberontakan, berkata Bung Karno, “Sebagai seorang yang telah berbulan-bulan langsung berhadapan dengan PKI, baik sebagai pejabat maupun pribadi, saya dapat konsepsikan dengan segera rencana pokok untuk menindak PKI.”

Tak lama, keluarlah keputusan presiden. Intinya, berupa perintah kepadaa Angkatan Perang Republik Indonesia untuk menyelamatkan pemerintah dalam menindak pemberontakan, dan menangkap tokoh-tokohnya, serta membubarkan organisasi-organisasi pendukungnya, atau simpatisannya.

Sidang kabinet untuk menumpas pemberontakan PKI di Madiun itu hanya berlangsung kurang dari setengah jam. Setelah itu, Presiden Sukarno menyerahkan mandat pelaksanaanya kepada Jenderal Soedirman. Sementara, untuk pelaksanaannya, Nasution masih menunggu sidang kabinet, yang rencananya baru akan digelar menjelang tengah malam.

Nah, pada sidang kabinet itu, Jenderal Soedirman sudah hadir. Tidak banyak perdebatan dalam sidang kabinet yang membahas penumpasan pemberontakan PKI di Madiun. Hanya Haji Agus Salim saja yang berkomentar. Katanya, “Kalau sudah begini, tentulah menjadi tugas tentara.” Sidang itu hanya berlangsung beberapa menit untuk kemudian memutuskan penumpasan pemberontakan tadi.

Jenderal Soedirman segera menugaskan Kolonel Nasution dan Letkol Soeharto Komandan Brigade X untuk bergerak pada malam itu juga, dan menyampaikan laporannya keesokan harinya. Maka malam itu juga, tentara berhasil melucuti persenjataan Front Demokrasi Rakyat Yogyakarta. Di samping itu, menangkapi sejumlah pentolan yang berafiliasi ke PKI, seperti Alimin, Djoko Sudjono, Abdulmadjid, Tan Ling Djie, Sakirman, dan Siauw Giok Tjan.

Semua penerbitan yang berafiliasi ke PKI juga diberangus, percetakannya disegel. Poster-poster dan spanduk-spanduk Front Demokrasi Rakyat dibersihkan, dan diganti poster-poster bertuliskan, “Kami hanya mengakui pemerintah Sukarno-Hatta”. Keseluruhan operasi itu selsai sebelum ayam berkokok. Persis sesuai instruksi Jenderal Soedirman.

Pagi hari menjelang siang, Jenderal Soedirman sudah menerima laporan lengkap dari Kolonel Nasution dan Letkol Soeharto. Setelah itu, dilanjutkan Rapat Dewan Siasat Militer. Panglima Soedirman kemudian mengeluarkan keputusan-keputusannya. Antara lain, mengangkat Kolonel Sungkono sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur. Ia mengirim Brigade II Siliwangi di bawah pimpina Letnan Kolonel Sadikin, guna merebut kembali Madiun. Sedangkan Letnan Kolonel Koesno Oetomo memimpin Brigade I Siliwangi buat merebut Purwodadi, Blora, Pati, dan Kudus.

Keseluruhan operasi penumpasan pemberontakan PKI Madiun itu hanya diberi waktu dua minggu. Prajurit tuntas mengemban tugas, hingga tertangkapnya semua pentolan PKI, bahkan hingga ke eksek

Published in: on 30 Agustus 2011 at 17:25  Comments (11)  
Tags: , , ,

Musso dan Sukarno, Guru dan Seteru

Bersyukur, sebuah rumah di Jl. Peneleh VII No. 29-31 Surabaya itu dilestarikan. Kini, rumah itu dikenal sebagai rumah kos Bung Karno. Benar, itulah rumah peninggalan keluarga HOS Cokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Dalam sekian kali posting yang menuturkan riwayat rumah itu, tidak pernah lupa saya menyinggung pertemanan yang kental antara Sukarno, Musso, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo.

Tiga nama di tengah, belakangan kita kenal sebagai tokoh kiri Indonesia. Sedangkan nama yang terakhir, menjelma menjadi imam Darul Islam, ekstrim kanan. Kedua kubu tadi lantas dicatat dalam sejarah perjalanan Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari riak revolusi.

Kembali ke rumah Peneleh VII, yang sempat dihuni sekitar 30 pemuda Indonesia, Sukarno adalah satu di antaranya. Periode 1915 – 1920, Bung Karno mondok di rumah itu, bersekolah di HBS (Hogere Burger School). Di pondokan itu, juga bercokol tokoh pemuda yang terbilang senior saat itu, Musso.

Muso sendiri saat itu menjabat aktivis Sarekat Islam pimpinan Cokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda). Tak ayal, Muso menjadi salah seorang sumber ilmu Bung Karno dalam setiap percakapan. Seperti misalnya saat Musso menyoal penjajahan Belanda, “Penjajahan ini membuat kita menjadi bangsa kuli dan kuli di antara bangsa-bangsa.”

Oleh Bung Karno, kalimat Musso itu diulanginya dalam penuturan kepada Cindy Adams. Itu artinya, tidak sedikit pemahaman-pemahaman baru yang Bung Karno peroleh dari Musso. Musso sendiri empat tahun lebih tua dari Bung Karno yang kelahiran 1901. Adapun teman seperjuangan Musso antara lain Alimin, Semaun, dan Darsono.

Alam perjuangan menuju Indonesia merdeka itulah yang mengakibatkan pada akhirnya mereka terpisah. Muso misalnya, pernah ditangkap polisi Hindia Belanda sebagai aktivis politik (Sarekat Islam) dan dijebloskan ke penjara. Bung Karno hanya bisa memantau dari pekabaran yang ada. Nah, keluar dari penjara tahun 1920 itulah, Musso tidak lagi aktif di Sarekat Islam, dan menggabungkan diri ke Partai Komunis Indonesia.

Sejak itu, Bung Karno dan Musso berpisah. Musso dengan gerakan kirinya. Bung Karno dengan kuliah serta gerakan nasionalis yang ia kembangkan bersama teman-teman seide-seideologi. Pada saat itu, perjuangan menuju kemerdekaan, disokong oleh semua aliran. Yang kiri, yang kanan, yang tengah… semua, tanpa kecuali, memiliki andil memerangi penjajah. Karena itu, dalam banyak kesempatan, Bung Karno tegas menyebut, “Komunis pun berjasa untuk kemerdekaan Indonesia.”

Syahdan, hingga proklamasi 17 Agustus 1945, Sukarno-lah yang muncul ke tampuk pimpinan pergerakan serta didaulat menjadi Presiden pertama untuk Republik Indonesia yang baru saja merdeka. Pasca proklamasi, bangsa ini langsung memasuki kancah revolusi fisik yang sebenarnya. Perang berkobar di seluruh penjuru negeri. Perang antara jiwa bergelora yang baru terbebas dari penjajahan, dengan tentara sekutu yang diboncengi Belanda, yang hendak menancapkan kembali kuku-kuku jajahannya di bumi pertiwi.

Dua sahabat, Musso – Sukarno, baru berjumpa sekitar 30 tahun kemudian, tepatnya pada 13 Agustus 1948 di Istana Negara. Banyak saksi sejarah yang melukiskan betapa mengharukannya pertemuan itu. Mereka berpelukan begitu hangat. Nyaris tanpa kata-kata, kecuali mata yang sembab dirundung haru. Dari pandangan mata kedua tokoh ini sudah tergambar, betapa tatapan mata mereka telah berbicara…. Betapa mereka melakukan dialog hebat melalui bola-bola mata keduanya.

Sejurus kemudian, manakala suasana sudah mencair, Bung Karno memecah keheningan dengan menceritakan hal-hal yang hebat tentang Musso. Katanya, “Musso ini dari dulu memang jago. Ia yang paling suka berkelahi. Ia jagi pencak (silat).”  Selain itu, Bung Karno juga menceritakan hobi Musso bermain musik. Satu lagi yang khas, Musso selalu menyingsingkan lengan bajunya sebelum berpidato.

Itulah obrolan dua sahabat. Bagaimana dengan perbedaan ideologi keduanya? Tentu saja, Bung Karno menyinggung tentang perkembangan politik internasional. Bung Karno nyerocos berbicara tentang perkembangan komunisme di dunia, dan ini membuat Musso ternganga. Demi melihat itu, Bung Karno cepat menjawab, “Saya ini kan masih tetap muridnya Marx, Pak Cokroaminoto, dan Pak Musso.”

Usai pertemuan yang lebih bernuansa kangen-kangenan itu… keduanya langsung kembali kepada habitatnya. Sukarno sebagai Presiden dengan kesibukan mengatur sistem tata-negara yang masih begitu rentan… Muso dan PKI-nya tetap konsisten dengan visi dan misinya.

Yang terjadi setelah itu, sungguh mencengangkan. Persisnya tiga-puluh-tujuh hari setelah pertemuan Bung Karno dan Musso, pecahlah peristiwa monumental, Pemberontakan Madiun. Terjadilah perang statemen antara Musso dan Bung Karno. Mereka pun saling memaki di media. Puncak pernyataan Bung Karno yang terkenal waktu itu adalah, “Pilih Musso atau Sukarno”. Alhasil, pemberontakan Madiun berhasil ditumpas, dan para tokohnya dihukum.

Apa kata Bung Karno tentang Musso pada bukunya yang ditulis Cindy Adams? Ia tetap menghormati Musso sebagai salah seorang gurunya. “Ajaran Jawa mengatakan, seseorang yang menjadi guru kita, harus dihormati lebih dari orangtua.” (roso daras)

Published in: on 28 Agustus 2011 at 05:20  Comments (4)  
Tags: , , , , ,

Apa Kejahatan Bung Karno?

Pertanyaan itu sebenarnya meluncur dari mulut seorang Sukarno sendiri. Dalam penuturannya kepada Cindy Adams, ia membeberkan sejumlah peristiwa percobaan pembunuhan atas dirinya. Baik penggranatan di Cikini, penembakan pesawat tempur Maukar, penembakan saat sholat Idul Adha tahun 1962, pencegatan Cisalak, penembakan di Makassar… pendek kata, sebagai Presiden, Sukarno berkali-kali mengalami percobaan pembunuhan.

Atas rentetan peristiwa itulah, Bung Karno kemudian bertanya, “Apa kejahatanku? Mengapa mereka mencoba membunuh Sukarno?” Sebuah jawaban yang masuk akal pada saat itu adalah, karena Sukarno bukan seorang Muslim yang patuh. Itulah jawaban versi Islam garis keras pimpinan Kartosuwirjo, yang hendak menggulingkan Pemerintahan Pancasila dan menggantinya dengan Pemerintahan Islam. NKRI menjadi Darul Islam (Rumah Islam/Negara Islam). Hasil penelitian dan penyidikan aparat keamanan memang kemudian mengarah ke sana.

Para pelaku penggranatan dan penembakan berasal dari anasir DI/TII pimpinan Kartosuwirjo. Mereka menuduh Sukarno bukan muslim yang patuh, karenanya patut dibunuh. Ini tentu menjadi ironis, karena dalam banyak literatur, Bung Karno justru dikenal sebagai seorang muslim yang baik.

Satu contoh, mobil Chrysler yang menjadi korban penggranatan di Cikini, antara lain ia dapat justru sebagai muslim yang baik. Tahun 1955, Bung Karno menjalankan ibadah haji. Ia beribadah haji bertepatan dengan hari suci, sehingga ia menjadi seorang Haji Akbar. Haji Besar. Nah, ketika ia hendak kembali ke Tanah Air, Raja Arab Saudi mengatakan, “Presiden Sukarno, mobil Chrysler Crown Imperial ini telah tuan pakai selama berada di sini. Dan sekarang saya menyerahkannya kepada tuan sebagai hadiah.

Kata Bung Karno dalam hati, “Sudah tentu aku idak akan menentang kebiasaan ini (menolak pemberian ini). Di samping itu, aku memang sudah tertarik pada kendaraan itu semnjak aku mulai melihatnya.” Nah, mobil Chrisler ini termasuk salah satu korban penggranatan Cikini.

“Aku selalu ingat kepada sembilan anak dan seorang perempuan hamil yang jatuh tersungkur tak bernyawa di dekatku. Oleh karena itu, tahun 1963 aku membubuhkan tanda tangan menghukum mati Kartosuwirjo. Bukan untuk kepuasan, tetapi demi menegakkan keadilan…” Begitu keterangan Bung Karno menyikapi sikap brutal atas percobaan pembunuhan atas dirinya, lalu merenggut nyawa-nyawa lain untuk kesia-siaan. Para antek dan pelaku peristiwa itu juga kemudian dijatuhi hukuman mati.

Itulah yang bertubi-tubi memenuhi rongga kepala Bung Karno, demi mengingat semua rentetan percobaan pembunuhan atas dirinya. “Apa kejahatan yang aku perbuat?’ Apa kejahatan Bung Karno? Bukan muslim yang taat, begitu versi kaum militan DI/TII.

Apa kejahatan Bung Karno? “Tidak mau ngeblok ke Amerika (Barat), yang itu berarti tidak mau ngeblok sebagai negara kapitalis murni,” begitu alasan Amerika Serikat dan sekutunya yang getol sekali menghabisi Sukarno melalui berbagai bentuk operasi intelijen mereka di Indonesia. Baik melalui individu, maupun dengan cara mendukung gerakan-gerakan separatis yang ada di Indonesia.

Termasuk jika nanti fakta ini terungkap secara terbuka, bahwa G30S/PKI yang berbuntut pada penggulingan Bung Karno, yang juga konom melibatkan anasir KGB (Soviet). Betapa banyak pihak yang berusaha menjatuhkan pemimpin kita yang satu ini. Menanggapi hal itu, suatu hari seorang mantan menteri era Bung Karno, M. Achadi mengatakan, “Presiden yang berjuang untuk kepentingan bangsanya, pasti banyak musuh. Sebaliknya, presiden yang tidak punya musuh, berarti presiden yang tidak bekerja untuk bangsanya.” (roso daras)

(roso daras)

Published in: on 20 Agustus 2011 at 10:39  Comments (9)  

Yang Tercecer di Balik Proklamasi

Cukup menarik ternyata, menguak sisi-sisi lain di seputar peristiwa besar, Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945. Najwa Shihab berhasil mengorek banyak informasi menarik. Misalnya, adanya dua proklamasi sebelum 17 Agustus 1945. Sebagian masyarakat mengetahui, sebagian besar lainnya tidak tahu.

Pada tanggal 23 Januari 1942, seorang pemuda Gorontalo bernama Nani Wartabone, memproklamasikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia “yang ada di daerah ini”. Betapa pun, itu sebuah proklamasi, sekalipun tidak bisa dikatkan berskala nasional. Bunyi proklamasi itu adalah sebagai berikut:

“Pada hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah merdeka bebas, lepas dan penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil oleh Pemerintah Nasional. Agar tetap menjaga keamanan dan ketertiban.”

Proklamasi ini didorong oleh semangat yang menggebu-gebu, demi mengetahui kekalahan sekutu atas Jepang. Namun, proklamasi ini tak bertahan lama. Begitu Jepang mendarat, daerah Gorontalo kembali di bawah kekuasaan Jepang. Nanu Wartabone pun kembali ke desa dan bertani.

Selain itu, ada lagi proklamasi yang dicetuskan dr Soedarsono di Cirebon pada tanggal 15 Agustus 1945. Ini juga sebuah proklamasi yang tergesa-gesa, demi melihat kekalahan Jepang, sehingga Soedarsono atas komando Sjahrir mengumumkan proklamasi kemerdekaan. Sayang, teks proklamasi yang kono terdiri atas 300 kata itu, tak berbekas.

Selain itu, di seputar perisitwa proklamasi Pegangsaan Timur 56, Jakarta oleh Sukarno-Hatta atas nama bangsa Indonesia, juga diselimuti banyak peristiwa menarik. Ada kisah pembantu Sukarno yang bernama Riwu Ga sebagai penyebar berita kemerdekaan ke seantero kota Jakarta. Ada pembentukan pasukan berani mati, ada kisah Tukimin yang disangka Bung Karno, dan lain-lain.

Semua topik itu dibahas di acara Mata Najwa yang akan tayang di Metro TV, hari Rabu, 17 Agustus 2011 pukul 22.05 WIB. Seperti apa? Simak saja acaranya. (roso daras)

Published in: on 16 Agustus 2011 at 13:01  Comments (5)  
Tags: , , , ,

Mozaik Proklamasi di “Mata Najwa”

Di tengah kepadataan agenda mengurus kelengkapan klub Bali Devata agar bisa berkompetisi di liga mendatang…. Di antara tanggung jawab besar memimpin Timnas U-23…. Saya benar-benar tidak kuasa menolak undangan Najwa Shihab. Tentu bukan karena Najwa memang sosok host yang cantik lagi bernas, tetapi karena ini tentang Bung Karno.

Untuk Bung Karno, apa pun saya ladeni…. Jadilah, Senin (15/8) saya harus mondar-mandir Denpasar-Jakarta-Denpasar. Undangan untuk kembali menjadi narasumber di acara “Mata Najwa” kali ini terasa spesial. Topiknya “Mozaik Proklamasi”. Relevan benar dengan suasana 17-an. Lebih dari itu, selaras dengan peristiwa bersejarah 66 tahun lalu, yang juga terjadi di bulan Ramadhan.

Hanya saya yang merasakan, kalau dua hari terakhir, sakit kepalaku kambuh…cenut-cenut…. Sementara itu, saya tetap berpuasa. Kalau saya harus mendiskripsikan fisik saya hari itu, benar-benar “pating greges”. Kepala pusing, Jakarta yang panas, masuk studio yang duingiinnn….Saya harus minta maaf, jika keramah-tamahan Najwa dengan kecantikannya, tak mampu mengobati ribuan bintang yang berputar-putar di atas kepala…. (ilustrasi kartun yang menggambarkan pusing tujuh keliling….).

Lagi-lagi, demi mengingat topik Bung Karno, yang ada hanyalah semangat untuk berbagi. Berbagi peristiwa bersejarah di seputar Proklamasi 17 Agustus 1945. Saya berusaha konsentrasi dengan topik yang hangat, bersama narasumber lain, sejarawan JJ Rizal. Hampir sepanjang proses taping, saya memijat-mijat telapak tangan di antara ibu-jari dan telunjuk. Kata ahli refleksologi, itu bermanfaat untuk mengurangi rasa sakit di kepala.

Begitulah, sidang pembaca blog yang saya hormati. Ini adalah pemberitahuan tentang topik menarik Mata Najwa, Rabu, 17 Agustus 2011 pukul 22.05 WIB nanti, dan curhat tentang sakit kepalaku. Selanjutnya, adalah ajakan untuk menonton acara itu. Siapa tahu ada mozaik-mozaik sejarah yang bisa kita petik sebagai penambah pengetahuan kita bersama. (roso daras)

Published in: on 15 Agustus 2011 at 14:20  Comments (6)  
Tags: , , , ,

Bawa Pesepakbola Ziarah Bung Karno

Lebih dua pekan saya tidak sempat posting apa pun di sini. Bagi yang berkunjungnya sekali-sekali, barangkali tidak aneh. Akan tetapi bagi yang rajin berkunjung, bisa jadi mulai mempertanyakan, “Mana posting-an yang baru tentang Bung Karno?”.

Baiklah, saya awali dengan permintaan maaf. Yang kedua, izinkah saya menyampaikan alasan, sekaligus pemberitahuan (bagi yang belum tahu). Bahwa sejak awal Agustus 2011, PSSI menugaskan saya sebagai manajer Timnas U-23. Bergabung dengan anggota tim di pemusatan latihan, Batu, Malang (Jawa Timur), langsung tenggelam dengan kepadatan agenda yang luar biasa.

Sempat sekali-dua membuka blog… sempat sekali-dua muncul niat menulis… semua kandas dengan kepentingan mengurus Timnas U-23 yang tentu harus saya dahulukan. Embel-embel “nasional” mengakibatkan saya harus meletakkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan yang lain. (huhh…sejak kapan saya lebay begini….)

Agenda pertama menukangi Timnas U-23 ini adalah menyusun jadwal atau agenda TC. Staf manajemen yang cekatan dengan cepat menyusun jadwal bagi Timnas. Maklumlah, kapan mereka harus makan, istirahat, berlatih, semua harus tercatat. Suasana Ramadhan membuat agenda menjadi lebih spesifik, ada jadwal sahur, shalat tarawih, dan sebagainya.

Terlintas sebuah agenda yang begitu rutin dan padat. Berlatih dan berlatih. Maka, setelah melalui konsultasi dan kesepakatan dengan tim pelatih, tersepakatilah tentang perlunya mengadakan acara selingan seminggu sekali. Spontan saya teringat Bung Karno, yang terbaring tenang di makamnya di Blitar, kurang lebih hanya berjarak 2 jam dari Batu. Itulah acara di luar rutinitas pertama yang saya selipkan.

Jadilah hari Minggu, 7 Agustus 2011, saya membawa seluruh anggota Timnas U-23 berziarah ke makam Bung Karno. Yang tidak saya duga adalah, sambutan yang begitu antusias, baik dari segenap aparat Pemkot Blitar maupun masyarakatnya. Lebih tak terduga ketika petugas protokol menyiapkan suatu ritual upacara penghormatan, dan mendaulat saya sebagai pembina upacara.

Usai upacara, rombongan memasuki altar makam Bung Karno. Juru kunci memimpin kami semua untuk memanjatkan doa bagi arwah Bung Karno. Kemudian diceritakan sedikit tentang sejarah makam Bung Karno. Kesempatan itulah saya gunakan untuk menyampaikan beberapa point tentang Bung Karno. Para pemain yang berusia di bawah 23 tahun, tentu tipis pemahamannya tentang Sang Proklamator. Warisan mulia yang bisa kita petik dari sosok Bung Karno, menjadi sesuatu yang penting untuk mereka ketahui.

Usai ziarah, rombongan sempat mengunjungi ruang pameran foto-foto Bung Karno. Sayang, waktu yang tersedia amat sedikit. Tapi setidaknya, mereka sempat menyaksikan koleksi foto yang ada di area musium Bung Karno. Selanjutnya, Timnas U23 disuguhi film dokumenter Bung Karno.

Selesai menyaksikan film, rombongan diarahkan ke kantor Walikota Blitar. Di sana telah menanti Walikota Samanhudi Anwar dan segenap jajarannya. Kami berbuka puasa bersama. Usai buka, kami kembali ke markas TC di Batu, Malang. Keesokan harinya, saya melihat banyak di antara anggota Timnas U23 yang mengganti foto profilnya dengan foto-foto Bung Karno…. Hmmm…. (roso daras)

Published in: on 13 Agustus 2011 at 12:38  Comments (9)  
Tags: , , ,