Tentang Buku Ketiga, Bung Karno vs Kartosoewirjo

Di tengah kepenatan fisik dan otak, izinkan saya mengabarkan, keseluruhan naskah buku ketiga sudah selesai dan terkirim ke penerbit Imania. Buku ketiga, berbeda dengan dua buku terdahulu. Jika buku pertama dan kedua, menggunakan judul yang sama “Bung Karno, the Other Stories, Serpihan Sejarah yang Tercecer” (buku 1 dan 2), maka yang ketiga, atas kesepakatan dengan penerbit, diambil satu tema besar. Atas kesepakatan pula, di buku ketiga, mengangkat judul “Baratayudha, Bung Karno vs Kartosoewirjo”, disambung judul serial “Serpihan Sejarah yang Tercecer, buku ke-3.

Sesuai tema besar, maka ulasan tentang perseteruan politik antara Bung Karno dan Kartosoewirjo, mendapat porsi yang cukup besar. Selain memang unik, juga terbilang dramatis. Dua sahabat yang sempat belajar dan indekos bersama di kediaman HOS Cokroaminoto di Surabaya, pada akhirnya harus berseberangan pandang. Bung Karno sebagai Presiden, menetapkan Pancasila sebagai ideologi negara. Sementara itu, SM Kartosoewirjo memberontak dan memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII).

Apa hendak dikata, dalam perspektif kenegaraan, tindakan Kartosoewirjo adalalah satu bentuk makar. Karenanya, Pemerintah RI berkewajiban menumpasnya. Pasukan TNI pun melakukan perlawanan dan usaha penumpasan kaum pemberontak DI/TII ini hingga ke akar-akarnya. Keselurhan operasi ini menelan waktu tak kurang dari lima tahun.

Selama itu pula, DI/TII yang didukung aksi intelijen Amerika Serikat, mendapat sokongan senjata, peralatan komunikasi canggih, dan… tentu saja guyuran dolar. Sejatinya, pemberontakan yang disponsori asing, bukanlah yang pertama. Bahkan dalam bentang sejarah kita, hampir semua aksi politik yang berujung pada suksesi kepemimpinan nasional, tak pernah luput dari pengaruh dan peran asing.

Orde Baru berhasil menumbangkan pemerintahan Sukarno, tak lepas dari peran aktif CIA. Gelombang demonstran yang didukung Angkatan Darat, adalah bagian dari skenario besar menumbangkan “singa Asia” ketika itu, Sukarno. Negeri-negeri Barat sangat geram dengan Bung Karno, yang berhasil menggalang kekuatan Asia-Afrika, bahkan sedia mencetuskan CONEFO (Conference of New Emerging Forces). Jika itu terwujud, di dunia ini akan bercokol dua organisasi negara-negara.

PBB yang dikritik habis oleh Bung Karno karena tak bisa melepaskan diri dari hegemoni super power, dilawan Sukarno dengan menggalang kekuatan-kekuatan baru, dari negara-negara yang baru melepaskan diri dari aksi kolonialisme (penjahan). Spirit melawan negara maju yang hendak mencengkeramkan kekuasaannya kembali melalui proyek-proyek ekonomi, dilawan Bung Karno dengan lugasnya.

Bukan hanya itu. Lagi-lagi, asing pun berperan besar dalam menumbangkan Orde Baru, manakala Soeharto mulai kehilangan kendali atas kekuasaannya. Ditambah, kecenderungan korupsi serta praktek-praktek nepotisme yang berkembang di luar batas kewajaran. Sekali dongkel, dengan didahului prahara badai krisis moneter, tumbanglah rezim Orde Baru.

Kembali ke topik buku. Sebagai Sukarnois, tentu saja tulisan itu beranjak dari perspektif yang tentu saja bertentangan dengan perspektif kelompok ekstrim kanan yang menghendaki Indonesia menjadi negara Islam. Rasanya ini tidak keliru, sepanjang NKRI masih berstatus negara republik dengan landasan ideologi Pancasila. Tentu lain soal seandainya pemerintah dan parlemen menyepakati perubahan ideologi dari Pancasila ke Islam.

Akan tetapi, sepanjang NKRI konsisten dengan Pancasila sebagai ideologi negara, maka bukan saja konsep negara Islam tidak dibenarkan secara konstitusi, juga upaya-upaya ideolog lain, seperti komunis, misalnya, juga tak akan pernah menjadi gerakan legal.

Materi tentang Bung Karno vs Kartosoewirjo, dilengkapi pula dengan sejumlah naskah-naskah pendek sebagai pelengkap sekaligus penguat. Selain itu, penulis juga menyajikan pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 yang kini kita peringati sebagai hari kelahiran Pancasila. Ini menjadi relevan, agar audiens memahami bagaimana para founding father menyepakati ideologi negara kita.

Yang tak kalah menarik, saya sajikan pula sebanyak 12 surat-surat Islam Bung Karno dari Ende. Ini adalah fase Bung Karno mendalami Islam, dan belajar bersama Ahmad Hassan, yang ketika itu berada di Bandung. Surat-menyurat Ende-Bandung itu, tidak melulu sebagai sajian surat belaka. Penulis melengkapinya dengan pengantar yang cukup panjang, untuk lebih memperkenalkan sosok A. Hassan, serta bagaimana riwayat perkenalan Bung Karno dan A. Hassan.

Pada tiap-tiap akhir surat, penulis membuat catatan-catatan. Ada yang berupa komen atas surat tersebut, ada juga yang merupakan upaya memperkaya literasi, sehingga audiens bisa lebih gamblang mencerna surat-surat Bung Karno, serta lebih menghayati suasana kebatinan maupun latar belakang lahirnya surat-surat tersebut.

Dibanding buku pertama yang 200 halaman lebih, dan buku kedua yang lebih tipis sedikit, maka buku ketiga ini diperkirakan mencapai ketebalan lebih dari 260 halaman. Sekalipun begitu, penerbit telah mengkalkulasi sedemikian rupa, sehingga tidak akan memberatkan kocek peminat buku ini, akibat harga yang tinggi. Dari konfirmasi sementara, buku ketiga ini akan luncur sekitar bulan Oktober 2011. Mohon doa restu agar segala sesuatunya berjalan lancar.  (roso daras)

The URI to TrackBack this entry is: https://rosodaras.wordpress.com/2011/07/07/tentang-buku-ketiga-bung-karno-vs-kartosoewirjo/trackback/

RSS feed for comments on this post.

9 KomentarTinggalkan komentar

  1. sangat ditunggu peluncuran buku nya mas….

  2. Mas, saya ingin minta bantuan, saya sedang mengerjakan skripsi tentang Kartosoewirjo, mengetahui mas menulis buku tentang soekarno dan kartosoewirjo, apakah mah mempunyai buku2 atau koleksi lainnya terkait kartosoewirjo? karena saya cukup kesulitan mencari buku2 dan literatur tentang Kartosoewirjo?
    saya harap mas bersedia membantu, terimakasih dan semoga sukses dengan buku2nya.

    • Halo Aisha…. saya memiliki sejumlah literatur. Bagian mana yang diperlukan? Karena sesungguhnya literatur ttg DI/TII atau khususnya tentang Kartosoewirjo saya lihat cukup banyak di toko-toko buku. Selain itu, Perpustakaan Nasional dan Arsip Nasional juga sumber literatur yang sangat baik. Aisha bisa ke sana. Prinsip, saya senang membantu, sepanjang apa yang saya tahu dan apa yang saya miliki. Sukses juga buat skripsimu.

  3. tersuslah mengangkat kisah perjuangan, cinta dan nasionalisme bung karno dan para pejuang yang berhati bersih

  4. Ditunggu peluncuran buku nya .. Untuk melengkapi edisi sebelumnya.. Salam Merdeka….!!!!!!!!!!!
    Usul Bung Roso, supaya Bung membuat sarasehan di Medan.. Saya yakin banyak juga penganggum BK di Medan/ Sumatera Utara sekitarnya….

    • Dear Jansen Justin
      Usul menarik…. siap jadi panitianya? hehehe
      Salam

      • Siap kapan saja Bung…!!!!!! Ini pasti akan menarik…!

  5. Dear Rosa Daras,

    I’m looking forward to your new book about Soekarno. Currently I’m writing a biography about Raymond Westerling, the commander of the Dutch Special Forces during the Indonesian Revolution.

    I wonder if you found during your research any evidence for a link between Westerling and Kartosoewirjo. Do you think the APRA and the Darul Islam worked together?

    Kind regards,

    Fredrik Willems

    • Dear Fredrk Wilems

      Glad to see you! Just keep writing. Many thanks to you for your concern about Indonesian history (specially about Westerling and APRA).

      Westerling rebel is one of a many similar after Renville Agreement. I think there is no connection between Westerling and Kartosuwiryo.

      Captain Westerling work together an other KNIL soldier for defending “Pasundan Country”. They’re motive is only economic issue. The otherwise, Kartosuwiryo fight for a different ideology. He want to change Pancasila with Islamic Ideology (Darul Islam/Islamic Country).

      It’s just my opinion. Please continued your research, that’s maybe you find a new evidence around the topics. I believe, the history will be find the truth.

      Regards
      Roso Daras


Tinggalkan Balasan ke Fredrik Willems Batalkan balasan