Tuhan di Gubuk si Miskin

Tanggal 23 Oktober 1946, Bung Karno menuliskan sebuah petuah yang begitu mendalam. Begini bunyinya:

Orang tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dengan tidak mengabdi kepada sesama manusia. Tuhan bersemayam di gubuknya si miskin.

Kemudian ada lagi kutipan menarik saat ia berada di KBRI Amerika Serikat tahun 1956. Bunyinya begini:

Sungguh Tuhan hanya memberi hidup satu kepadaku, tidak ada manusia mempunyai hidup dua atau hidup tiga. Tetapi hidup satunya akan kuberikan, insya Allah subhanahuwata’ala, seratus persen kepada pembangunan tanah air dan bangsa. Dan… dan jikalau aku misalnya diberikan dua hidup oleh Tuhan, dua hidup ini pun akan aku persembahkan kepada tanah air dan bangsa. Maka aku minta kepada kita sekalian, marilah kita sekalian bersama-sama mengabdi kepada tanah air dan bangsa ini. Inilah amanatku kepadamu sekalian. Terima kasih.

Dan masih banyak kutipan-kutipan tulisan maupun pidato Bung Karno yang begitu humanis… begitu nasionalis. Begitu tawadhu, dan begitu cinta kepada tanah air. Saya pun lantas teringat ucapan kawan seorang Marhaenis yang dengan lantang pernah berseru di hadapan puluhan ribu massa, “Semua agama, tanpa kecuali mengajarkan kita untuk cinta kepada tanah air. Cinta tanah air, hukumnya bukan lagi sunnah, tetapi wajib!”

Dia bukan seorang ulama. Sungguh. Tetapi usai bicara begitu, seorang ulama besar menghampirinya menyalami dan… mencium tangannya.

Kembali ke kutipan-kutipan tulisan maupun orasi Bung Karno, sejatinya bisa menjadi bahan perenungan yang dalam tentang siapa diri kita, berada di mana diri kita, dan apa yang telah kita lakukan untuk bangsa dan negara ini. Mengapa ini menjadi penting? Sebab kehidupan dan rutinitas sehari-hari telah menjerumuskan kita untuk jauh dari sikap empati terhadap si miskin, menjauhkan kita dari kewajiban mencintai tanah air.

Padahal, Tuhan berada di gubuknya si miskin…. Padahal, mencintai tanah air adalah sebuah kewajiban. (roso daras)

Published in: on 14 Juli 2010 at 03:55  Comments (4)  
Tags: , , ,

The URI to TrackBack this entry is: https://rosodaras.wordpress.com/2010/07/14/tuhan-di-gubuk-si-miskin/trackback/

RSS feed for comments on this post.

4 KomentarTinggalkan komentar

  1. Yth Pak Roso Daras

    bagus-bagus tulisan bapak.
    khusus untuk judul diatas boleh saya izin share di majalah komunitas kami.
    Majalah ini non profit yang bertujuan untuk mengembangkan pendidikan dan kebudayaan?

    regards
    Dyah

    • Thanks Dyah… silakan di-share, semoga bermanfaat.

  2. salam revolusi! dirgahayu ri ke-65. jayalah nkri! renungi wasiat historis bung karno, “…kemerdekaan, politieke onafhkelijkheid , atau political independence, tak lain adalah satu jembatan emas..”. substansi dari wasiat bung karno ini adalah, janganlah bangsa ini menyia-nyiakan kemerdekaan. dan ingat, kini ibu pertiwi sedang lara: utang negara nyaris mencapai 2 ribu triliyun, menelantarkan lebih 30 juta rakyat miskin, martabat bangsa (lagi-lagi) tercoreng dengan ditangkapnya 3 petugas patroli oleh polisi malaysia di wilayah teritori nkri. kepada kaum muda revolusioner, jangan menyebut diri sebagai bangsa yang besar sebelum bangsa ini membebaskan diri dari ketergantungan utang luar negeri dan membebaskan jutaan tkw yang eksodus ke luar negeri, yang kepepet bekerja sebagai kuli kasar, kacung, jongos, babu dan budak teraniaya. segenap rakyat, ayo sokong terus gerakan revolusioner untuk merebut kembali kedaulatan bangsa melalui satu jalan heorik: revolusi, zonder kompromi!

    (mas ab, dari padepokan sunyi di kaki merapi)

  3. Nikmat kemerdekaan 17-8-1945 tentu harus kita syukuri. Tetapi mengabaikan, mengingkari, atau bahkan mengkhianati esensi, semangat, dan cita-cita kemerdekaan dan konstitusi tentu adalah pertanda bahwa kita belum menjadi bangsa yang pandai bersyukur.

    Belumnya kita menjadi tuan di negeri sendiri, belumnya kita sanggup berdiri di atas kaki sendiri, dan belum lebih bermartabat serta penuh percaya dirinya kita sebagai sebuah bangsa adalah pertanda jelas itu. Antara cita-cita dan realita, antara konstitusi dan yang terjadi, hari ini sungguh masih jauh panggang daripada api.

    Indonesia kini memiliki ratusan (ribuan?) fakultas teknik & ahli2 berkemampuan tinggi. Lalu sampai kapan kita serahkan minyak, gas, batubara, emas, dsb untuk dikelola kontraktor dari luar negeri. Sedang kita cukup puas sekedar menerima royalti ataupun berpikir tak apalah menjadi kuli asal digaji tinggi? Sampai kapan kita justru memakmurkan industri –otomotif- luar negeri?

    Kita pun sudah lama punya ribuan fakultas ekonomi & ahli2 ekonomi, manajemen, & keuangannya. Lalu sampai kapan kita biarkan masyarakat kita –bahkan sampai yang di pelosok2 desa- menjadi pasar bagi pabrik2/perusahaan luar negeri. Sehingga untuk urusan masak, mandi , keramas, dan gosok gigi pun seolah tidak ada pilihan selain perusahaan luar negeri. Perusahaan Negara hanya sanggup kita juali. Koperasi dijadikan anak tiri. Pasar Modal pun didominasi perusahaan luar negeri. Pun, jurus andalan ekonom kita selalu adalah utang luar negeri. Kemana perginya ahli2 itu? Sampai kapan kita sanggup begini?

    Dan bahkan ratusan (ribuan?) fakultas hukum & ahli2 nya lama kita miliki. Lalu kenapa selalu UU-2 Ekonomi selalu dibuat, dipesan, dan diatur2 oleh pihak luar negeri? Sampai kapan kita terus-terusan menanggung rugi akibat ini. Kerusakan lingkungan, sosial, moral, kemiskinan, ketimpangan, bukankah cerminan dari aturan dan kebijakan yang penuh ketidakadilan?

    Sungguh Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubahnya sendiri (QS Ar’ad: 11). Tentu kitalah –sebagai kaum intelektual – yang juga turut bertanggung jawab atas semua ini. Atas nasib jutaan anak bangsa, baik untuk saat ini maupun esok nanti.

    Saatnyalah kita kembalikan ruh pendidikan kita sesuai amanah Ki Hajar Dewantara; “bukanlah pendidikan jika tidak membuat peserta didik insyaf akan dirinya yang adalah bagian dari suatu bangsa yang seharusnya berdaulat dan merdeka”. Oleh sebab itu, janganlah kita biarkan anak-anak didik kita pergi dari kampus dengan keahlian2 akan tetapi tanpa visi, tanpa arah, dan tanpa orientasi. Jangan biarkan mereka turut melanggengkan keterpaksaan massal untuk “menjadi kuli di negeri sendiri”.

    Saatnyalah “Trisakti Pendidikan” kita pancarkan kembali. Bahwa pendidikan adalah wahana untuk berlangsungnya; “ideologisasi”, yaitu memahamkan sejarah dan jatidiri, serta menyemaikan benih2 mimpi dan cita2 kolektif yang tertuang dalam Konstitusi kepada seluruh anak bangsa, “kontektualisasi”, yaitu pendidikan yang sesuai realitet sosio-ekonomi, untuk kemudian mampu memberikan solusi terhadap segenap persoalan dan ketertinggalan bangsa pada hari ini, dan “pendidikan untuk masyarakat desa”, yaitu pendidikan yang diabdikan untuk kesejahteraan dan keberdikarian masyarakat desa. IPTEK tidak saja harus bermanfaat bagi masyarakat, tetapi kita harus sanggup membuat IPTEK sunguh-sungguh dikuasai oleh masyarakat desa.

    Cita-cita itu begitu nyata dan dekat. Tetapi butuh usaha keras dan pengorbanan untuk menjangkaunya. Amanah adalah tidak pernah berhenti untuk mengejar mimpi dan mewujudkan cita-cita pendiri bangsa. Dirgahayu RI dan selamat Hari Konstitusi.

    Awan Santosa (Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM)


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

%d blogger menyukai ini: