Mengapa Ada Poros Jakarta – Peking?

Chou En Lay dan Bung Karno

Bung Karno dan komunis. Ini adalah topik klasik. Terlebih, penggulingan Bung Karno melalui Tap MPR XXX/1967 diartikan sebagai keterlibatan Bung Karno, langsung atau tidak langsung terhadap tragedi G-30-S.  Singkat kata, hingga akhir hayatnya, ada upaya nyata untuk melekatkan stigma komunis kepada Sang Proklamator. Semua upaya tadi, bahkan menabrak logika ketatanegaraan, menafikan fakta-fakta yang ada.

Nah, salah satu hal yang sering dikaitkan sebagai “bukti” Sukarno –setidaknya– pro komunis adalah penciptaan istilah Poros Jakarta – Peking. Tanpa mengkaji latar belakangnya, tanpa menelisik asal-usul, tanpa menganalisa pertimbangan ke depan, spontan saja poros Jakarta – Peking diterjemahkan sebagai upaya menggelindingkan bangsa ini lebih pro terhadap komunis.

Belum lagi pertemuan yang intensif antara Bung Karno dan Perdana Menteri RRC, Chou Enlai. Pertemuan di Beijing (dulu bernama Peking), Jakarta, Bali, di Beograd dan di dalam kesempatan lain di luar negeri, lebih-lebih memperlihatkan betapa “mesra” hubungan Bung Karno dan Chou Enlai. Bahkan ada yang membaca sebagai “hubungan spesial” Indonesia- Cina.

Apa gerangan yang mengakibatkan Bung Karno begitu dekat dengan Presiden Mao Zedong dan/atau PM Chou Enlai? Kedekatan ini khususnya sejak tahun 1960-an. Sebeb, periode sebelum dekat dengan Cina, dunia pun mengetahui kalau Bung Karno dekat dengan Kruschev, atau bisa dibaca sebagai Indonesia dekat dengan Uni Soviet.

Jika kita telisik sejarah, kedekatan Bung Karno dengan Mao maupun Chou tak lain karena “proyek” NEFO (New Emergong Forces). Cina sangat mendukung Indonesia (baca=Bung Karno) memimpin gerakan NEFO. Bahkan waktu itu, Bung Karno sudah merancang konferensi NEFO (CONEFO) di Jakarta. Jika ini terwujud, lebih separuh belahan bumi, akan berhimpun.

Tak bisa dipungkiri, gerakan itu sangat tidak disukai Amerika Serikat (dan sekutunya), bahkan juga tidak disukai oleh Uni Soviet. Amerika dan sekutu kapitalisnya sangat keberatan negara-negara baru ini lepas dari cengkeraman mereka. Sebaliknya, Uni Soviet yang menempatkan diri sebagai pusat komunisme internasional (komintern) sangat tidak senang posisi itu kemudian seperti diambil-alih oleh Cina.

Inilah yang nanti berujung pada konspirasi internasional sehingga meletus G-30-S. Inilah sebuah potret dan tinjauan dari kacamata internasional terhadap upaya pendongkelan Sukarno dan proyek CONEFO-nya. (roso daras)

Published in: on 31 Oktober 2009 at 13:27  Comments (10)  
Tags: , ,

Surat Kartika buat Bapaknya

Karina di depan patung BKAda begitu banyak kisah  seorang anak yang tumbuh tanpa belai kasih sang ayah. Dari yang banyak itu, Anda tentu setuju jika nama yang satu ini terbilang spesial. Karena apa? Karena ini menyangkut satu nama yang tidak biasa: Kartika Sukarno atau yang biasa disapa Karina.

Sebuah kisah spesial karena menyangkut seseorang yang juga spesial. Putri tunggal Bung Karno dari Ratna Sari Dewi itu, memang besar tanpa belai kasih sang ayah. Sepanjang hidupnya, sejarah hanya merekam satu kali momentum Bung Karno menimang Kartika saat bayi. Pada saat itu, kesadaran Bung Karno masih penuh. Sebaliknya, memori Kartika jauh dari cukup untuk mengenang peristiwa itu.

Perjumpaan berikutnya tidak dalam suasana yang lebih baik. Kartika masih balita, sedangkan Bung Karno sedang dalam keadaan sekarat, menjelang ajal menjemput. Singkatnya, nyaris tak pernah terjadi dialog antara Bung Karno dan Kartika dalam keadaan keduanya mengerti dan memahami. Interaksi keduanya, murni antara dua hati. Antara sang ayah dan bocah. Bocah cilik yang dalam tubuhnya mengalir kental darah Bung Karno.

Ikatan batin dan pertalian darah itu pula yang merekatkan keduanya. Bung Karno memang telah wafat, tetapi darahnya mengalir di sekujur tubuh Kartika. Sebaliknya, Kartika memang tidak dibesarkan Bung Karno, tetapi batinnya telah terikat lekat dengan sosok almarhum Putra Sang Fajar.

Syahdan, ketika Bung Karno telah wafat dan jazadnya disemayamkan di Wisma Yaso, yang tak lain adalah rumah Ratna Sari Dewi sang ibunda, samar-samar ia teringat suasana duka yang menyelimuti suasana. Sekalipun begitu, makna duka masih begitu sulit dicerna. Namun jika mengilas balik ke suasana 21 Juni 1970, hari berpulangnya Sang Proklamator, tergambar suasana betapa sang ibu yang tengah bergelut dengan kesedihan. Ratna Sari Dewi menggandeng, menggendong, dan membawa Kartika kian-kemari.

Setahun, dua tahun, tiga tahun… berlalu, dan Ratna Sari Dewi tetap rutin berziarah ke makam mendiang suaminya di Blitar. Dalam kesempatan itu, Ibu Wardoyo, kakak Bung Karno senantiasa menemani. Tampak pula sejumlah kerabat lain ikut berziarah.

Bayi KartikaBagaimana Kartika? Tidak pernah ketinggalan. Ibundanya selalu mengajak Kartika berziarah ke pusara ayahanda. Nah, dari ritual ziarah itulah terekam sebuah peristiwa menarik. Terjadi siang hari, saat Kartika bersama ibunda, bude Wardoyo dan sejumlah kerabat berziarah. Seperti biasa, mereka menabur kembang setaman, kemudian bersimpuh mengelilingi makam, khusuk melayangkan doa bagi almarhum Bung Karno. Kartika tampak mengikuti semua ritual dengan khidmat.

Tatkala acara ziarah kubur usai, rombongan kecil itu pun bersiap hendak meninggalkan komplek makam Bung Karno. Satu per satu mundur. Ratna Sari Dewi membimbing tangan putri semata wayang, beranjak dari nisan di hadapannya. Kartika berdiri, mengiringi langkah ibunda. Sesekali, kepalanya menoleh ke arah nisan.

Seperti sengaja menunggu sampai semua rombongan kecil keluarga meninggalkan makam, Kartika terus melangkah. Dan ketika tak satu pun orang di sekeliling makam Bapaknya, lembut Kartika melepas tangan ibunda, berbalik badan dan berlari kecil menuju nisan. Apa yang dilakukannya? Ia mengeluarkan secarik kertas dari kantong, bersimpuh di depan pusara, lalu menyelipkan kertas itu di bawah batu nisan ayahanda.

Rupanya, Kartika telah menyiapkan sepucuk surat yang akan ia sampaikan langsung saat berziarah. Itulah curahan hati Kartika buat sang ayah. Itulah bahasa cinta Kartika buat bapaknya. Itulah wujud hormatnya buat sang rama. Pertanyaan yang mengendap hingga hari ini adalah… “Apa yang ditulis Kartika dalam surat itu?”

Tak berjawab, kecuali sebaris harap, semoga Kartika membaca tulisan ini, dan berkenan membagi personal story-nya dengan Bung Karno. (roso daras)

Published in: on 30 Oktober 2009 at 23:18  Comments (5)  
Tags: , , ,

Dicari, 10 Pemuda yang Siap Mengguncang Dunia

Saya benar-benar surprise manakala blog ini berhasil –tanpa direncanakan– menggalang para Sukarnois, temasuk generasi mudanya. Lebih-lebih ketika satu di antara mereka kemudian dengan sangat antusias mengusulkan agar saya mengadakan pertemuan para Sukarnois se-Indonesia….

Saya pikir itu ide gila. Pengertian “gila” di sini ada dua. Pertama, hebat. Kedua, nyaris “impossible” karena saya merasa tidak punya kapasitas untuk mewujudkan ide itu. Tapi ketika dia berkata, “Mulailah dengan 10 pemuda!” saya berpikir, “Yang ini sangat mungkin. Mengapa tidak?”

Kemudian, ingatlah kita semua akan ucapan Bung Karno, “Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan menggerakkan Gunung Semeru. Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia”.

Nah, dalam rangka “Mengguncang Dunia” itulah, saya berkeinginan untuk mengumpulkan 10 pemuda yang cintanya membara kepada Tanah Air, seperti dikatakan Bung Karno. Jika Anda orangnya, dari lubuk hati terdalam, mohon kiranya berkenan bergabung.

Luangkan sedikit waktu Anda untuk berkirim biodata via alamat email: mengguncangdunia@yahoo.com sesegera mungkin. Meski bukan syarat mutlak, tapi saya sangat senang jika Anda:

1. Berkenan membuat paper ringkas tentang Aktualisasi Ajaran Bung Karno

2. Bukan orang partai politik mana pun

3. (Maaf) Usia 20 – 30 tahun.

Nah, tunggu apa lagi?! Mari kita guncang dunia. Kembalikan harkat dan harga diri kita sebagai bangsa. Kembalikan kejayaan dan kehormatan kita sebagai negara.

ttd

Roso Daras

Published in: on 25 Oktober 2009 at 15:18  Comments (56)  
Tags: , ,

Laksana Karang Diterjang Ombak

karang di laut

“Setahu saya, koleksi lukisan Bung Karno tidak hanya objek wanita-wanita cantik… tetapi juga objek-objek lain,” begitu kurang lebih nada protes lunak seorang teman, usai membaca posting terdahulu yang berjudul “Perempuan dalam Lukisan”.  Saya meng-amin-i, karena memang begitulah adanya.

Suatu ketika, Bung Karno duduk terpekur lama sekali di depan sebuah lukisan karya Basuki Abdullah. Kali ini, objeknya bukan wanita setengah telanjang, melainkan lukisan yang menggambarkan ombak laut ganas menghantam sebuah karang yang tegak berdiri. Bergeming. Dalam situasi seperti itu, tidak stu pun ajudan berani mendekat. Tidak satu pun pengikut berani beringsut.

Masing-masing yang ada di ruang pamer, tenggelam dalam pikirannya sendiri-sendiri. Bung Karno? Bisa jadi ia tengah tenggelam dalam satu bayangan, bahwa dirinyalah sang karang yang tengah diterjang-terjang sang ombak ganas. Karang itu adalah dirinya, yang tetap tegak-teguh-tegar menghadapi hantaman-hantaman gelombang samudera terus-menerus, silih berganti, susul-menyusul. Seperti itulah kiasan perjalanan politik Bung Karno. Ia tidak saja dihantam anasir-anasir dari dalam, tetapi juga luar negeri.

Kisah yang lain, dituturkan oleh Bambang Widjanarko sang ajudan. Bung Karno bukan sekali-dua berdiri lama memandang suatu objek lukisan. Seperti misalnya ketika pada suatu saat, matanya terpatri pada satu objek lukisan pemandangan alam Indonesia yang begitu indah. Gunung yang tinggi menjulang, berselimut kabut tipis. Di bawah gunung, terhampar hutan menghijau dan sawah bertanam padi menguning. Sementara, aliran sungai tampak berliku membelah bumi Indonesia yang begitu indah. Bumi Indonesia yang begitu dicintai dan dibanggakan Bung Karno.

Ringkas kalimat, Bung Karno bukan saja seorang seniman lukis. Mengingat, sebagai pelukis, ia telah melahirkan sejumlah karya yang tidak bisa dibilang buruk. Di sisi yang lain, ia juga seorang penikmat seni rupa sejati. Lebih dari itu, ia juga seorang kritikus seni rupa sekaligus kurator yang andal. Jejak-jejak kesenimanan Bung Karno, bisa kita nikmati dalam sejumlah buku yang mengabadikan koleksi lukisan Bung Karno.

Ratusan bahkan mungkin ribuan objek lukisan yang dimilikinya. Bangsa ini patut bertanya… ke mana semua lukisan koleksi Bung Karno sekarang? (roso daras)

Perempuan dalam Lukisan

Basuki_abdullah_balinesebeautyBung Karno pemuja wanita cantik…. Ya! Bahkan ia sempat meralat pemberitaan media Barat yang antara lain mengejek… “Bung Karno selalu melirik setiap melihat wanita cantik….” Yang benar, kata Bung Karno… “Bung Karno menatap setiap wanita cantik dengan kedua buah matanya bulat-bulat!“.

Bukan terhadap wujud dan sosok wanita. Bahkan terhadap setiap lukisan wanita, lengkap dengan keindahan yang melekat pada tubuhnya, Bung Karno akan menyukainya. Tak heran jika ia menjadi salah satu kolektor lukisan karya Basuki Abdullah. Maklumlah, Basuki Abdullah tergolong salah maestro pelukis Indonesia, yang sangat piawai menampilkan sosok perempuan dengan segala kelebihannya.

Kepada salah satu ajudannya, Bambang Widjanarko, Bung Karno pernah mengakui tentang kekagumannya terhadap lukisan-lukisan Basuki Abdullah. Ia juga mengaku, sebagai pelukis maupun penikmat lukisan, Bung Karno cenderung menyukai aliran naturalisme. “Bambang, aku tahu betul bahwa banyak aliran dalam lukisan, dan setiap aliran mempunyai pengikut dan pengagumnya. Aku sendiri senang pada naturalisme, khususnya yang menonjolkan keindahan, apakah itu manusia, makhluk hidup, ataupun benda mati,” ujar Bung Karno kepada ajudannya, pada suatu hari.

Bung Karno menambahkan, “Setiap orang selalu ingin menunjukan kebaikan ataupun keindahan dirinya, dan setiap benda betapa pun kecilnya mempunyai keindahn pula. Aku senag melihat dan menimati keindahannya itu, keindahan yang dianugerahkan Tuhan kepada yang diciptakanNya.”

Bung Karno sendiri mengoleksi banyak lukisan, termasuk lukisan-lukisan wanita cantik. Beberapa lukisan bahkan ada yang benar-benar menonjolkan keindahan bagian tubuh, entah mata yang sayu merayu, atau mata yang bersinar-binar, atau bibir tipis tersenyum manis, atau bibir indah bak buah manggis merekah, ada kalanya rambut ikal mayang yang terurai, atau bahkan yang… memperlihatkan keindahan seluruh tubuh wanita itu sendiri!

Nah, khusus terhadap kesenangannya akan lukisan wanita cantik, Bung Karno pernah menerangkan, “Aku memang dilahirkan dengan sifat yang demikian, dan aku tidak memungkirinya. Bahkan aku mensyukurinya karena itu pemberian Tuhan. Tuhan memang menciptakan wanita penuh dengan keindahan. Saya kira setiap laki-laki normal pasti senang melihat wanita cantik atau senang melihat keindahan yang ada pada diri wanita itu.”

Mari kita hela nafas sejenak…. (roso daras)

Bidadari karya basuki abdullah

lukisan-modern-karya-basuki

Telanjang, karya Basuki Abdullah

“Menjual” Bung Karno

Gerai Foto BK copy

Entah bagaimana reaksi Anda… Yang ini adalah reaksi saya. Setiap kali melewati pedagang poster yang menggelar lapak di trotoar, spontan kaki ini seperti mengerem. Cakram pula. Jadi, pasti berhenti. Sejenak saya sapu poster-poster Bung Karno. Sayang, hampir semua poster yang mereka pajang, sudah saya koleksi. Sangat jarang menemukan pose baru Sukarno. Kalau sudah begitu, saya pun berlalu.

Ada kalanya, gambar yang “berbeda” dari Sukarno justru bisa dijumpai di lapak-lapak yang tak terduga. Satu contoh kecil, manakala pulang Lebaran yang lalu. Di sebuah pasar tradisional bernama Pasar Petanahan, saya punya warung soto langganan. Tak jauh dari penjaja soto, ada lapak yang menjual aneka buku (kebanyakan buku-buku agama), dan poster-poster pahlawan.

Sore itu, saya menyapu seluruh gantungan poster, tidak ada yang baru. Sampai akhirnya si penjual bertanya, “Nyari poster siapa? Manchester United? Inter Milan? Ronaldo? Obama?…” terus saja dia nyerocos menyebutkan poster dagangannya.

“Bung Karno!” jawab saya pendek.

“Oh… banyak…!!! Sebentar…,” jawab dia sambil bergegas masuk ke kios. Saya menunggu, semenit… dua menit… tiga menit…

“Mas… ada nggak?!” mulai tidak sabar saya.

“Adaaa… sebentar… saya bersihkan dulu…,” suara menyahut dari dalam. Setengah berteriak.

Tidak lama kemudian dia membawa setumpuk poster Bung Karno. Luar biasa… meski sudah lusuh, warna pudar, dan berdebu… akan tetapi itu adalah pose Bung Karno yang berbeda. Setidaknya, saya baru pertama kali melihat gambar itu. (Sayangnya, belum sempat saya scan… sehingga belum bisa diposting di sini…).

Saya pilih satu, dua, tiga, empat… Ya, hanya empat. Selebihnya tidak asing di mata saya. Apalagi, tumpukan poster Bung Karno dalam bentuk lukisan tangan yang jauh dari mirip… huhh!!! Siapa pula pelukisnya!!! Melukis Bung Karno kok jadinya mirip Benyamin S!!!

Singkatnya saya ambil empat lembar poster. Setelah digulung, saya –seperti biasa– tidak pernah bertanya harga, dan langsung memberinya lembaran uang merah pecahan seratus ribu… “Uang kecil saja mas…”, lalu saya tukar dengan lembar biru lima puluh ribuan… “Apa tidak ada yang lebih kecil mas…”, kemudian saya sodorkan lembar hijau dua puluh ribuan. Uang diterima seraya berkata, “Sebentar saya ambilkan kembalian mas…”

Uang dua puluh ribu tadi, dikembalikan dua belas ribu rupiah… Astaga! Satu lembar poster ukuran A0 berharga dua ribu rupiah? Bandingkan dengan poster dengan ukuran sama di lapak trotoar dekat Shopping, Yogya yang berharga dua puluh lima ribu rupiah per lembarnya.

Begitulah sekelumit kisah kaum marginal, yang masih “menjual” Bung Karno dalam upaya mengais rezeki. Dari serentet bincang-bincang dengan mereka, selalu saja didapat informasi beragam. Ada penjual aneka poster, termasuk poster Bung Karno, karena dia memang mengaku Sukarnois. Karenanya, dia memajang poster Bung Karno begitu terhormat, bahkan menyediakan pigura khusus bagi yang menghendaki.

Akan tetapi, tidak sedikit pula yang motivasinya hanya sekadar “menjual” Bung Karno. “Karena masih ada yang suka mencari gambar Bung Karno, jadi saya ambil di agen. Biar sedikit, yang penting ada,” ujar penjual aneka poster, mulai dari Ronaldo hingga Lazio. Mulai dari Hitler sampai Anjing Herder. Mulai dari Che Guevara sampai band Dewa. Mulai dari poster gadis semi-porno hingga Bung Karno. (roso daras)

Bung Karno dan ekspresi

Published in: on 20 Oktober 2009 at 17:33  Comments (8)  
Tags: , , ,

Bharatayudha versi Bung Karno versus Kartosoewirjo

kartosoewirjo

Sesungguhnyalah, republik ini berdiri atas sokongan berbagai aliran ideologi. Sesungguhnyalah, aktivis-aktivis beraliran kiri, kanan, tengah, bahkan liberal sekalipun, ikut andil dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Hingga puncak proklamasi 17 Agustus 1945, mereka bersatu padu.

Bulir masalah baru menampakkan diri setelah proklamasi. Aliran liberal menghendaki Indonesia menjadi negara Uni Belanda dan menerapkan sistem demokrasi ala Barat. Para pejuang kiri, berusaha menjadikan komunisme menjadi ideologi negara. Sementara aktivis kanan, menghendaki lahirnya negara Islam.

Bung Karno? Proklamator dengan endapan banyak ideologi, mulai dari marxis, das capital, komunis, bahkan kajian  Alquran dan hadits, Injil, Weda dan berbagai kitab lain… Bapak Bangsa yang jatuh hati terhadap kultur dan budaya Nusantara dari Aceh hingga Papua, sama sekali tidak menghendaki Indonesia liberal, Indonesia negara Islam, Indonesia menjadi negara komunis, atau bentuk-bentuk negara lain.

Pancasila adalah ideologi yang ia tawarkan. Pancasila adalah ideologi yang tumbuh dari bumi pertiwi. Pancasila adalah hasil endapan pergulatan batin, intelektual dan budaya luhur bangsa ini. Terlebih, manakala ia tawarkan Pancasila pada pidato 1 Juni 1945, tidak satu pun tokoh bangsa ini yang menolak.

Jika kemudian Sukarno melangkah dengan panji Pancasila, itu karena ia meyakini, Pancasila saja yang paling pas dan cocok buat bangsanya. Ia pun mengayuh biduk Indonesia Raya ke samudera ganas. Ia dihantam ombak komunis, ia diterjang ombak kapitalis-imperialis, ia digoncang ekstrim kanan.

Beruntun percobaan pembunuhan terhadap dirinya, adalah suatu konsekuensi dari sikap yang kuat, demi tegaknya panji-panji NKRI di bawah ideologi Pancasila. Bahkan untuk prinsipnya, ia harus berseberangan dengan dua sahabat, Muso (kiri) dan Sekarmadji Maridjan (SM) Kartosoewirjo (kanan). Keduanya memberontak, keduanya ingin menumbangkan Sukarno dan pemerintahan proklamasi.

Aktivis pro Barat yang beraliran internasionalisme, pernah mencoba-coba membuat proklamasi tandingan di Cirebon. PKI pernah memberontak dan membentuk pemerintahan komunis poros Soviet di Madiun tahun 1948. Tak terkecuali, Kartosoewirjo pun memproklamasikan Negara Islam Indonesia (NII) di Tasikmalaya pada tanggal 7 Agustus 1949.

Harus diakui, “kawan yang menjadi lawan” paling tangguh bagi Sukarno adalah Kartosoewirjo. Dengan semangat dan jiwa militan, ia bahkan bisa melebarkan gerakan dan pengaruhnya hingga ke sebagian Pulau Jawa, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Bersamaan dengan itu, Kartosoewirjo dengan DI-TII-nya memilih hutan-hutan di pegunungan Jawa Barat sebagai basis perjuangan melawan pemerintahan Sukarno.

Delapan alinea di atas, kiranya cukup buat mengantar ke inti masalah, ke saat-saat dimana prajurit TNI berhasil mendesak DI/TII, dan membuat Kartosoewirjo tak berdaya saat “dijemput” di Gunung Geber, Jawa Barat pada 4 Juni 1962. Sisa pasukan carut-marut tanpa imam besar yang sudah tertangkap.

Ada satu yang menarik. Sandi operasi penumpasan gerakan DI/TII oleh pasukan TNI adalah “Bharatayudha”. Sebuah sandi yang sarat makna. Dalam epik Mahabharata, perang Bharatayudha adalah perang antaradua kelompok bersaudara: Pandawa dan Kurawa. Mereka sama-sama keturunan Bharata. Satu kelompok adalah putra Pandu Dewanata, sang pewaris tahta Kerajaan Astina. Kelompok ini dinamakan Pandawa. Kelompok yang lain adalah para putra Destarata, adik Pandu Dewanata.

Akan halnya Bung Karno dan Kartosoewirjo. Keduanya adalah satu tumpah darah, darah Ibu Pertiwi bernama Indonesia. Jika Pandawa dan Kurawa sama-sama berguru kepada Begawan Drona, maka Bung Karno dan Kartosoewirjo pun sama-sama pernah berguru kepada HOS Cokroaminoto di Surabaya.

Konflik bathin dan pesan moral yang tinggi menyelimuti peperangan akbar itu. Bagaimana ketika seorang putra harus tega menghabisi nyawa pamannya. Bagaimana ketika seorang adik harus tega menghabisi nyawa kakaknya. Wejangan-wejangan Bathara Kresna kepada Arjuna agar menegakkan dharma kesatria, bahkan diabadikan dalam Kitab Bhagawad Gita.

Tak terkecuali ketika Bung Karno harus membunuh sahabat karibnya sendiri, saudara seperguruan, teman seperjuangan, Kartosoewirjo. Sebab, pengadilan memang memutuskan hukuman mati baginya. Bung Karno selaku Presiden harus menandatangani berkas vonis mati bagi kawannya.

Di sinilah batinnya berperang. Sejak ditangkap hingga tiga bulan kemudian, Bung Karno selalu menyingkirkan berkas kertas vonis mati atas diri Kartosoewirjo. Keesokan hari, manakala di antara berkas yang harus ditandatangani bertumpuk di atas meja kerja, dan ia dapati kembali berkas vonis mati bagi Kartosoewirjo, ia pun menyingkirkannya. Begitu berulang-ulang, hingga klimaksnya Bung Karno begitu frustrasi dan ia lempar berkas vonis tadi ke udara dan bercecer di lantai ruang kerjanya.

Adalah Megawati sang putri, yang secara khusus dipanggil pulang dari Bandung. Kepada sang ayah, Megawati bertutur laksana Kresna kepada Arjuna. Ia menggambarkan luhurnya hakikat pertemanan sejati. Mega pula yang menyadarkan sang ayah, agar menepati dharmanya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan serta tidak mencampur-adukkan antara hakikat persahabatan dengan tugas dan fungsinya sebagai kepala negara.

September 1962, terpekur lama Bung Karno di meja kerjanya. Ia melambungkan memori masa muda di Surabaya, saat berasyik-ceria menebar canda bersama Kartosoewirjo. Ia mengingat hari-hari pergerakan menentang penjajahan Belanda maupun Jepang bersama-sama. Ia terngiang diskusi-diskusi politik, agama, kebangsaan dan apa saja yang begitu hangat.

Hari itu, ia harus menggoreskan tanda tangan di atas berkas vonis. Coretan tanda tangannya, sama arti dengan akhir dari kehidupan Kartosoewirjo. Ia pandangi kembali selembar foto Kartosoewirjo. Ia tatap berlama-lama, sambil berlinangan air mata. Dan benar adanya, ketika ia menerima laporan ihwal tertangkapnya Kartosoewirjo beberapa bulan sebelumnya, satu pertanyaan Bung Karno adalah, “Bagaimana matanya?”

Ketika tidak ada satu pun yang bisa menjawab, maka keesokan harinya, petugas menyodorkan foto Kartosoewirjo. Demi melihat foto sahabat yang memusuhinya, Bung Karno tersenyum dan berkata, “Sorot matanya masih tetap. Sorot matanya masih sama. Sorot matanya masih menyinarkan sorot mata seorang pejuang.”

Tegar hatinya untuk menandatangani berkas vonis mati bagi rekannya. Ikatan batin keduanya, kedalaman spiritual keduanya, bahkan abadi hingga hari ini. (roso daras)

Published in: on 19 Oktober 2009 at 04:32  Comments (31)  
Tags: , , ,

Singa Podium

Ekspresi Bung Karno

Ekspresi Bung Karno2

Ekspresi Bung Karno3

Ekspresi Bung Karno4

Ekspresi Bung Karno5

Ekspresi Bung Karno6

Fotografer majalah Life (Amerika) berhasil mengabadikan Bung Karno yang tengah berpidato. Ekspresi Bung Karno sebagai sang singa podium, begitu menonjol, hasil bidikan seorang fotografer senior. Hampir dapat dipastikan, si fotografer tidak akan bekerja keras menanti momen-momen penting buat melempar shoot demi shoot sehingga didapat aneka gambar yang ekspresif.

Mengapa begitu mudah menangkap gambar yang eye catching dari seorang Sukarno? Karena Bung Karno memang orator yang sadar posisi, sadar bentuk, sadar ekspresi. Ia menggunakan tangan, mimik, body language, dan properti apa saja yang bisa menunjang performanya sebagai sang orator.

Anda tentu masih ingat. Ketika ia masih sekolah di HBS Surabaya, tinggal kos di rumah HOS Cokroaminoto, hampir setiap hari ia tenggelam dalam berbagai literatur kelas dunia. Setelah menyerap intisarinya, ia suarakan dalam bentuk pidato yang berapi-api. Di mana ia berpidato? Di kamarnya yang pengap, lembab tak berjendela.

Ia berpidato di hadapan cermin. Ia mengulangi kata demi kata manakala dirasa ekspresi wajahnya tidak pas denga kalimat yang dilontarkan. Begitulah Bung Karno berlatih dan berlatih. Jangan dikira, kepiawaian berpidato Bung Karno hanya gift semata. Selain bakat dan anugerah Tuhan, Bung Karno adalah manusia yang sadar dengan kelebihannya, lalu mengasahnya menjadi lebih bermakna. (roso daras)

Published in: on 18 Oktober 2009 at 00:24  Comments (11)  
Tags: , , ,

Bung Karno dan Kartosuwirjo, Saling Ejek, Saling Bunuh

Bung Karno dan Kartosoewirjo

Jika panggung sejarah hanya berisi dua tokoh: Bung Karno dan Kartosoewirjo, maka yang terjadi adalah sebuah drama tragedi kehidupan yang sangat dramatis. Bahkan, hampir bisa dipastikan, jauh lebih mencekam dibanding lakon “Lawan Catur”, sebuah naskah drama karya Kenneth Arthur (Kenneth Sawyer Goodman) yang diterjemahkan dengan apik oleh almarhum Rendra.

Lakon “Lawan Catur”, hanya menyuguhkan tokoh Samuel dan Antonio. Keduanya terlibat permainan catur yang penuh trik, penuh strategi, penuh konflik, dan… secara keseluruhan begitu memukau, mencekam, dan pada akhirnya menghibur. Sedangkan tokoh Oscar dan Verka lebih sebagai pemain figuran. Repertoar itu begitu memukau di tangan sutradara handal seperti Rendra.

Tak ubahnya Bung Karno dan Kartosuwirjo. Sejak tahun 1918 keduanya terlibat jalinan pertemanan yang kental di rumah HOS Cokroaminoto, Surabaya. Mereka bahu-membahu berjuang demi kejayaan negeri bersama Cokro. Akan tetapi, di bagian akhir, keduanya terlibat perbedaan paham yang keras. Bung Karno yang nasionalis berselubungkan Pancasila. Karwosoewirjo bergaris Islam ekstrim, dan menghendaki Indonesia menjadi negara Islam. Dengan sutradara Tuhan Yang Maha Agung, “drama” keduanya benar-benar mencekam, dengan ending yang tragis.

Melayang ke tahun 1918, 1919 …  dan masa-masa di sekitar itu, Bung Karno dan Kartosoewirjo benar-benar berkarib. Di luar konteks kebangsaan, mereka bergaul layaknya anak muda pada zamannya. Termasuk, saling ledek, saling ejek, dan saling lempar canda dan tawa.

Ingat kebiasaan Bung Karno berpidato di depan kaca di dalam kamar yang pengap dan gelap? Ya, di satu kamar paling ujung, satu-satunya kamar tak berjendela sehingga siang-malam Bung Karno harus menyalakan pelita, Bung Karno acap berpidato berapi-api. Dari luar kamar, teriakan-teriakan Bung Karno membahana. Sekali-dua, rekan-rekan satu pemondokan menegurnya. Akan tetapi, ketika Bung Karno tidak juga menghentikan kebiasaannya berpidato di depan cermin… mereka pun mengabaikan.

Nah, salah satu penghuni rumah yang tak bosan berkomentar atas ulah Bung Karno hanyalah Kartosoewirjo. “Hei Karno… buat apa berpidato di depan kaca… seperti orang gila saja….” Kartosoewirjo tak bosan mengejek dan melempar ledekan kepada Bung Karno? Atas itu semua, Bung Karno tak menggubris. Ia melanjutkan orasinya, meski hanya didengar tembok dan sekawanan cicak, nyamuk, dan keremangan suasana.

Usai berpidato, barulah Bung Karno membalas ledekan Kartosoewirjo. Pertama-tama, Bung Karno akan mengatakan apa yang ia lakukan adalah salah satu persiapan menjadi orang besar…. Jika Kartosoewirjo meladeni, maka aksi saling ledek pun berlanjut. Ibarat “lawan catur” langkah skakmat Bung Karno untuk membungkam ejekan Kartosoewirjo adalah kalimat menusuk seperti ini, “… tidak seperti kamu…. udah kurus, kecil, pendek, keriting… mana bisa jadi orang besar!”

Lakon terus bergulir. Keduanya terus memperjuangkan ideologinya. Keduanya bertujuan memberi yang terbaik buat bangsanya. Sampailah Bung Karno pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama. Sedangkan Kartosoewirjo, meski pernah direkrut Bung Karno sebagai Wakil Menteri Pertahanan, tetapi ideologi garis kanan tak luntur.

Alih-alih menopang republik yang baru seumur jagung, Kartosoewirjo nyempal dan mendirikan Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII). Bahkan tahun 1948, Kartosoewirjo memakulmatkan perang kepada Bung Karno (pemerintah yang sah). Lalu dua tahun kemudian, 1950, ia menyalakkan api perang dengan statemennya, “Bunuh Sukarno. Dialah penghalang pembentukan Negara Islam.”

Sejak itu, sejumlah usaha pembunuhan terhadap Bung Karno pun dilakukan oleh para teroris anak buah Kartosoewirjo. Peristiwa penggranatan Cikini 30 November 1957 adalah salah satu saja dari sekian banyak rentetan percobaan pembunuhan terhadap Bung Karno oleh anak buah Kartosoewirjo. Masih ada peristiwa lain seperti penembakan Istana oleh Maukar. Kemudian penembakan waktu Bung Karno sedang shalat Idul Adha di masjid Istana, dan lain-lain upaya yang semuanya gagal.

Sebaliknya, TNI berhasil mendesak DI/NII, menangkap gembong Kartosoewirjo… dan ia pun dihukum mati. Akan tetapi, sebelum Bung Karno menandatangani surat persetujuan eksekusi mati, juga tersimpan kisah menarik yang sungguh mengharukan. Bagaimana kisahnya? (roso daras)

Published in: on 17 Oktober 2009 at 02:47  Comments (24)  
Tags: , , ,

Kisah Seekor Cacing dan Presiden

bk di atas mobil

Menguak sisi-sisi humanisme seorang Sukarno, sungguh bagai butir-butir pasir di pesisir. Teramat banyak. Kalau saja kita pandai memilah dan memungut, niscaya butir-butir tadi bisa menjadi lentera berharga. Termasuk terhadap satu kisah yang dituturkan oleh orang dekatnya, Mangil di bawah ini.

Alkisah, di suatu pagi nan cerah, udara Kota Yogya begitu menyegarkan. Langit Kota Yogya biru-kehijauan. Bung Karno dan keluarga, sudah sementara waktu hidup dalam pengungsian di Gedung Agung (Istana Yogyakarta). Ini adalah rentetan peristiwa, setelah Sekutu mendarat, melakukan aksi polisionil di Jakarta, dan mengancam keselamatan Bung Karno sebagai seorang Presiden dari sebuah republik yang baru diproklamasikan setahun sebelumnya.

bk-dan-fatmawati-bersepedaYa, ini kisah berlatar belakang tahun 1946. Lokasi kejadian di Bantul, yang ketika itu masih banyak areal persawahan. Bung Karno paling suka menjelajah area pertanian kota Yogya. Sesekali bahkan ia naik sepeda, berboncengan dengan Fatmawati, melintas padang tebu Madukismo.

Nah, hari itu, Bung Karno kembali menjelajah areal pertanian di sebelah selatan Kota Gudeg. Kali ini, ia tidak bersepeda, melainkan naik mobil Buick Hitam, bersama Fatmawati, disopiri Arif dan dikawal satu orang pengawal DKP. Melintaslah mobil kepresidenan tadi dari satu areal persawahan ke areal persawahan yang lain. Di tempat-tempat tertentu yang banyak orang, Bung Karno menyuruh Arif menghentikan mobil.

Sesaat Bung Karno turun diiringkan Fatmawati dan pengawal. Arif sang sopir, setia menunggu di mobil. Dengan bahasa Jawa yang halus, Bung Karno menyapa para petani dan mengajaknya berbicara, mulai dari masalah-masalah pertanian, masalah rumah tangga, masalah pengairan, masalah harga jual gabah… sesekali diselipkan tentang senangnya menghirup udara bebas sebagai bangsa merdeka.

Sejurus kemudian, Bung Karno mewartakan pula berita Sekutu yang sudah mendarat dan sedia merampas kembali kemerdekaan kita. Kalau udah begitu, para petani akan spontan merespon penuh semangat. Ada yang mengangkat cangkul, sabit, atau apa saja yang ada di tangan dan pernyataan siap mati untuk mempertahankan kemerdekaan.

Setelah berpamitan, Bung Karno melanjutkan perjalanan. Nanti, tak jauh dari situ, Bung Karno bisa berhenti lagi dan mengulang apa yang sudah dia lakukan bersama para petani sebelumnya. Bercakap-cakap, bertanya-jawab, dan tak lupa menyelipkan pesan-pesan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.

Tibalah saatnya, ketika Bung Karno hendak melanjutkan perjalanan, matanya tertumbuk pada seekor cacing yang menggeliat-geliat kesusahan di tengah jalan raya. Bung Karno menghentikan langkah, memperhatikan cacing yang bersusah payah terseok-seok, menggeliat-geliat hendak mencari tanah gambur, atau setidaknya mencari kelembaban.

cacing-lumbricus-2Tak habis pikir Bung Karno, demi melihat seekor cacing di tengah jalan. Ia hanya bisa menduga, itu seekor cacing salah jalan… atau ada petani iseng saat mencangkul mendapati cacing, kemudian memungut dan melemparnya ke jalan (tempat kering). Satu hal yang Bung Karno tahu, tanpa adanya pertolongan, si cacing bakal mati kepanasan. Habitat dia bukanlah di tengah jalan. Selain bisa mati kering tersengat matahari, bisa juga mati lebih cepat karena kelindas ban sepeda, ban mobil, atau telapak kaki petani.

Karenanya, Bung Karno spontan memerintahkan pengawalnya untuk segera menolong sang cacing. Caranya? Tentu saja harus dipungut dengan tangan, setidaknya menjumputnya dengan jepitan lunak telunjuk dan jempol, kemudian memindahkannya ke tanah basah.

Atas perintah Presiden yang satu ini, sang pengawal kaget. Ekspresinya benar-benar seperti orang blo’on… sorot mata memandang bolak-balik antara seekor cacing dan Bapak Presiden. Pada saat itu, ia benar-benar belum paham dengan perintah penyelamatan cacing di tengah jalan. Barulah setelah Bung Karno mengeluarkan perintah yang sama untuk kedua kalinya, si pengawal paham.

Sayangnya, setelah paham akan perintah Presiden, giliran psikisnya yang terguncang. Rupanya, si pengawal ini terbilang manusia yang “geli” melihat cacing… apalagi memegangnya. Jadilah ia kembali menampakkan ekspresi blo’on untuk yang kedua kalinya. Ekspresinya terbaca jelas, antara takut menentang perintah Presiden, dan takut (tepatnya “geli”) memegang seekor cacing yang tengah uget-uget menjemput ajal.

Bung Karno memaklumi keadaan itu. Sambil senyum dikulum, Bung Karno tidak lagi memerintah. Ia berjalan menjauh dari pintu mobil dan menuju titik di mana cacing kesasar itu berada. Setelah dekat, ia membungkuk, menjumput cacing tanpa ragu, mengangkat, dan melemparnya ke persawahan. Selamatlah sang cacing. Diselematkan oleh seorang Presiden. (roso daras)

Published in: on 14 Oktober 2009 at 01:55  Comments (18)  
Tags: , , , ,