Naskah Asli Tonil Bung Karno Diduga Hilang

Patung BK di Ende

Terbelalak mata saya yang tidak terlalu lebar ini, demi membaca koran Kompas, Jumat (31/7) halaman 23. Sebuah berita di pojok kiri bawah berjudul “Delapan Naskah Asli Tonil Bung Karno Diduga Hilang”.  Begini isi beritanya:

Delapan naskah asli tonil karya Bung Karno, Presiden Pertama RI yang dibuat dalam masa pembuangan politik di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur tahun 1934 – 1938, diduga hilang. Delapan naskah itu berjudul: Rahasia Kelimutu, Rendo, Jula Gubi, KutKuthi, Anak Haram Jadah, Maha Iblis, Aero Dijnamiet, dan Dr. Syaitan.

Hal itu dinyatakan peneliti Yuke Ardhiati di Situs Bung Karno di Jalan Perwira, Ende, Kamis (30/7), seusai bertemu dengan pengelola Situs Bung KArno, Shafrudin Pua Ita. ….. (dst).

Pada bagian lain berita itu, paragraf ke enam, tertulis: … Di halaman 63 buku Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara (2006) tertera tanda terima naskah tonil tulisan Bung Karno selama di Ende tahun 1934-1938 dari Yusuf Ibrahim sebagai wakil kawan-kawan Bung Karno di Ende kepada Rahmawati Soekarnoputri.

Namun, naskah tonil tidak ditemukan di Yayasan Bung Karno di Jakarta. Rahmawati Soekarnoputri menyatakan kepada Yuke bahwa berkas naskah tonil tercecer sejak petugas yayasan yang mengelola koleksi, Bagin, meninggal beberapa tahun lalu.

Seketika saya teringat kepada buku “Riwu Ga, 14 Tahun Mengawal Bung Karno” karya Peter A. Rohi. Saya sendiri menerima pemberian buku itu dari sang penulis saat jumpa di Bali Maret 2005. Ingatan saya pada bagian akhir buku tadi yang memuat naskah-naskah tonil karya Bung Karno.

Segera saya buka-buka buku tadi, dan benar, di sana tersaji empat dari delapan naskah yang diberitakan hilang tadi. Empat nakah yang dimaksud masing-masing: Dokter Syaitan, Aero Dijnamiet, Anak Haram Djadah, dan Rahasia Kelimutu. Peter mendapatkan naskah-naskah tadi dari Rahmawati Soekarnoputri.

Saya sendiri jadi mereka-reka raibnya naskah tonil karya Bung Karno. Dugaan saya, fakta bahwa Yusuf Ibrahim telah menyerahkan naskah-naskah itu kepada Rahmawati, adalah valid. Rahmawati sendiri tidak membantah, bahkan ia menyebutkan, naskah tadi tercecer sejak Bagin meninggal dunia. Itu artinya, Rahmawati Soekarnoputri, anak Bung Karno sendiri yang seharusnya paling bertanggung jawab terhadap keberadaan naskah-naskah asli tonil karya bapaknya.

Lebih aneh, Guruh Soekarnoputra yang sekarang memimpin Yayasan Bung Karno, sepertinya tidak tahu kalau naskah-naskah itu ada pada mbakyu-nya. Alih-alih bertanya kepada Rahma, kakaknya, ia malah menugaskan peneliti Yuke berangkat ke Ende. (roso daras)

Naik Kereta Api ke Rangkasbitung

Sebagai sebuah sejarah, Sukarno pun bisa dibelah-belah. Belahan pertama adalah periode tahun 1920-an, ketika ia mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). Sebagai pendiri dan pemimpin PNI, Sukarno berhasil memberikan arah baru nasionalisme Indonesia. Belahan kedua adalah periode 1940-an, di era pendudukan Jepang. Pada era ini, Sukarno menjadi pemimpin terbesar dalam perjuangan nasional Indonesia.

Penggalan ketiga adalah era 1956 – 1959, saat ia melahirkan demokrasi terpimpin ala Sukarno. Nah, sekelumit sejarah berikut ini adalah penggalan peristiwa tahun 1957, periode unjuk pengaruh bagi bangsa yang terus dirundung konflik internal. Konflik politik yang melelahkan.

Turun dari KA di Rangkasbitung 1957

Awal tahun 1957, Bung Karno berkunjung ke belahan Banten yang lain. Ia mengunjungi Rangkasbitung dan Serang. Perjalanan ke Rangkasbitung, ibukota Kabupaten Lebak sekarang, dilakukan menggunakan kereta api uap, menempuh jarak 83 kilometer melewati jalur Serpong dan Parungpanjang.

BK di Stasiun Rangkasbitung 1957

Kota ini, tidak kalah pamor dibanding kota-kota di sekitar Jakarta seperti Buitenzorg (Bogor) di selatan Jakarta, maupun Rengasdengklok dan Karawang-Bekasi di timur Jakarta. Nama besar penulis Multatuli atau Max Havelaar memberi kontribusi berarti bagi Rangkasbitung. Benar, Multatuli pernah tinggal di kota ini.

Begitu tiba di stasiun, massa menyambutnya dengan gegap gempita. Lautan massa juga tumpah ruah di alun-alun kota Rangkasbitung. Di sini pula, Bung Karno melancarkan orasinya. Di tengah suhu politik yang bergelombang, Bung Karno terus dan terus menyuarakan pesan persatuan.

BK dan lautan massa

Kabinet boleh jatuh bangun, tetapi rakyat Indonesia tetap kokoh berdiri di belakang Bung Karno. Kabinet Wilopo hanya bertahan setahun (1952-1953), disusul Kabinet Ali Sastroamidjojo I (1953-1955), kemudian Kabinet Burhanuddin Harahap (1955-1966), menyusul kemudian Kabinet Ali Sastroamidjojo II (1956-1957), dipungkasi dengan Kabinet Djuanda (1957-1959). Setelah itu, barulah era Demokrasi Terpimpin yang didahului dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Angklung dan Debus

Setelah perjalanan yang melelahkan, Bung Karno cukup puas dengan sajian budaya tradisi kita: Seni angklung Badui dan atraksi debus yang mendebarkan…. (roso daras)

Published in: on 31 Juli 2009 at 03:55  Comments (11)  
Tags: , , ,

Rapat Raksasa “Persatuan” di Banten

Jalannya Republik Indonesia mengalami pasang-surut. Banyak kepentingan asing masih berniat mengobok-obok negara yang kaya sumber daya alam ini. Mereka menggunakan berbagai cara untuk mendongkel pemerintahan yang sah. Salah satunya dengan menyokong pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwirjo yang mengusung idealisme mendirikan Negara Islam Indonesia.

Basis mereka adalah hutan-hutan Priangan. Mereka turun gunung melakukan aksi-aksi teror, dengan harapan mendapat publikasi internasional. Kesan yang hendak digalang adalah, pemerintah tidak becus mengelola keamanan rakyatnya.

Sementara itu, Bung Karno dengan pengaruhnya yang sangat besar, terus mengonsolidasikan persatuan dan kesatuan bangsa. Ia melakukan kunjungan ke wilayah Jawa Barat yang lain, yakni ke wilayah Banten, meliputi Rangkasbitung, Serang, dan Pandeglang. Di sini, Bung Karno menggelar rapat raksasa bertema “Persatuan”.

Rapt raksasa di alun alun serang, 1951

BK-rakyat Badui

Seperti biasa, dalam setiap kunjungan, Presiden Sukarno secara spontan akan mendatangi rakyatnya. Seperti ketika di Rangkasbitung, ia pun menyempatkan diri untuk berkenalan lebih dekat dengan masyarakat Suku Badui. Giliran para pengawal yang harus pandai-pandai mengamankan situasi, dan menghindarkan Bung Karno dari “serbuan” rakyatnya.

cenderamata dan kapal kovert

Dalam kunjungannya ke Serang, 1951 itu, Bung Karno menggunakan kapal perang jenis kovert milik Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Tampak pula, Bung Karno dihadiahi cendera mata berupa kerajina tangan tradisional masyarakat Pandeglang. (roso daras)

Ibu Mertua Wafat di Pangkuannya

Di Ende dg ibu Amsi mertua

Sukamiskin adalah kerangkeng bagi tubuh Sukarno. Ende adalah belenggu bagi jiwa Sukarno. Dalam masa pembuangan di Pulau Bunga antara 1934 – 1938 itu, tahun pertamalah yang ia rasakan sebagai tahun paling berat. Ia –dan keluarganya– begitu dikucilkan. Ia dijauhi laiknya sebuah penyakit menular. Ia dikucilkan justru oleh orang-orang yang mengenalnya. Mereka tidak mau ambil risiko berurusan dengan polisi Belanda.

Kaki Sukarno hanya boleh melangkah dalam radius lima kilometer dari rumah pembuangannya. Seorang polisi berpakaian preman, akan berada pada jarak 60 meter dari dirinya. Ke mana pun Sukarno pergi, polisi itu menjadi bayang-bayang abadi.

Dalam “curhat”nya kepada Cindy Adams, Bung Karno menyatakan betapa perih jiwanya, betapa luka hatinya. Hantaman rindu Pulau Jawa, menghantam-hantam rongga dada dan ruang kepala. Sekalipun begitu, sebagai pimpinan keluarga, tak sekali pun ekspresi duka ia tampakkan di hadapan Ibu Amsi sang mertua, Inggit Garnasih sang istri, dan Ratna Djuami sang anak angkat.

Nah, di saat ia tiada kawan, di saat hati mendendam rindu kampung halaman, di saat ketegarannya terkikis pelan, di saat itu pula ia dihantam peristiwa duka mendalam. Ibu Amsi sang mertua yang baik hati, meninggal dunia di atas pangkuannya. Dikisahkan, pada suatu malam, Ibu Amsi pergi tidur. Esok paginya, ia tidak bangun-bangun. Keesokan harinya pun tidak bangun. Di hari berikutnya lagi pun tidak.

Bung Karno, dalam kecemasan yang sangat, mengguncang-guncang tubuh Ibu Amsi dengan keras… akan tetapi, di pagi 12 Oktober 1935, setelah lima hari dalam keadaan tidur, ia pergi dengan tenang dalam keadaan belum sadar. Duka itu begitu mendalam.

Sukarno pula yang kemudian membawanya ke kuburan. Tangan Sukarno pula yang membangun dinding kuburan dengan batu-tembok. Tangan Sukarno-lah yang mencari batu kali, memotong dan mengasahnya untuk batu nisan di pusara Ibu Mertua. Dadanya makin sesak saat kaki-kaki menapak jalan sempit menuju pemakaman yang jauh di dalam hutan.

Sukarno berduka bersama Inggit dan Ratna Djuami, ditemani satu-dua rakyat jelata saja. (roso daras)

Published in: on 29 Juli 2009 at 19:06  Comments (2)  
Tags: ,

Awak Kapal Ajak Bung Karno Kabur

Dari Jawa ke Ende

Pulau Bunga, Flores, pulau cantik yang dijadikan tempat pembuangan Bung Karno. Enam tahun hidup dalam pengasingan, cukuplah bagi Sukarno untuk menyelami kehidupan rakyat Ende, pantai indah dan para nelayan yang ramah, kehidupan pelabuhan yang pikuk saat kapal berlabuh, serta masyarakatnya yang ramah sedikit tertutup.

Di sini, Bung Karno hidup bersama Inggit Garnasih sang istri, Ibu Amsi sang mertua, dan Ratna Djuami sang anak angkat yang biasa dipanggil Omi. Tak berapa lama kemudian, barulah bergabung empat orang pembantu, satu di antaranya Riwu Ga yang mengikuti Bung Karno hingga ke era pembuangan di Bengkulu sampai Indonesia merdeka.

Selama dalam masa pembuangan, Bung Karno telah menjelma menjadi “penyelundup” ulung. Ia menjalin komunikasi penuh sandi dengan para awak kapal. Terlebih, kapal-kapal lintas pulau, umumnya diawaki para ABK pribumi, yang semuanya menaruh hormat kepada Sang Tokoh Pergerakan, Sang Musuh Penjajah. Ada kalanya, Bung Karno sendiri yang berdesak-desakan di pelabuhan. Ada kalanya cukup lewat orang suruhan. Dengan bahasa-bahasa tertentu, komunikasi berjalan lancar.

Alhasil, semua kebutuhan Bung Karno terpenuhi dengan mudah. Sampailah suatu ketika, saat Bung Karno sedang menanti paket pesanan rahasia di pelabuhan, tiba-tiba turun seorang awak kapal berbadan tinggi besar, berkulit gelap. Ia menyeruak kerumunan orang dan mendekati Bung Karno. Setelah tiba di hadapan Bung Karno, ia sedikit membungkuk dan berkata bisik, “Bung, katakanlah kepada kami, kami akan menyelundupkan Bung Karno. Saya jamin aman, tidak akan ada orang yang tahu.”

“Terima kasih, saudara. Lebih baik jangan,” kata Bung Karno sambil menatap awak kapal tadi penuh rasa terima kasih. “Terkadang memang terbuka jalan seperti yang saudara katakan itu. Dan sering juga datang pikiran menggoda untuk lari secara diam-diam dan kembali bekerja untuk rakyat kita.”

Si awak kapal menyambar, “Kalau begitu, kenapa tidak dicoba saja, Bung?! Kami akan sembunyikan Bung Karno dan membawa Bung ke tempat kawan-kawan.”

Bung Karno menjawab tenang, “Kalau saya lari, ini hanya saya lakukan untuk memperjuangkan kemerdekaan. Begitu saya mulai bekerja, saya akan ditangkap lagi dan dibuang lagi. Jadi, tidak ada gunanya.”

Awak kapal bertanya lagi, “Apakah Bung Karno tidak bisa bekerja secara rahasia?”

“Itu bukan caranya Bung Karno.”

“Sekiranya di suatu saat berubah pendirian Bung Karno, tak usah ragu, sampaikan kepada kami.”

Bung Karno merangkul awak kapal tadi, dan tanpa ragu mencium kedua pipinya. “Terima kasih. Di suatu masa, kita semua akan merdeka. Begitupun saya.” (roso daras)

Published in: on 29 Juli 2009 at 05:03  Comments (15)  
Tags: , , , ,

Saatnya Shalat di Amerika Serikat

Masih dalam rangka kunjungan Presiden Sukarno ke Amerika Serikat tahun 1956. Ketika tiba saatnya shalat, Bung Karno dan rombongan menuju salah satu masjid di sana untuk bersujud. Foto-foto berikut terasa sejuk kalau kita resapi dalam hati. Karenanya saya merasa tidak perlu berpanjang kata mengomentari ataupun memuji. Kita nikmati saja deretan foto di bawah ini, sambil membenamkan imaji sedalam-dalamnya….

Bung Karno Sholat1

Bung Karno, dengan tongkat komandonya berjalan kaki melintasi koridor masjid. Para pengawal correct menjaga Presidennya, lantas mengiringkannya masuk ke dalam masjid.

Bung Karno Sholat2

Bung Karno Sholat3

Usai shalat berjamaah, Bung Karno berdoa sejenak. Sejurus kemudian, ia bangkit berdiri lagi untuk kembali melaksanakan shalat sunah dua raka’at…. Anggota rombongan lain, ada yang mengikuti Bung Karno shalat sunah, ada yang tekun berdzikir, ada pula yang beringsut mundur, dan menunggu di luar masjid.

Bung Karno Sholat4

Bung Karno Sholat5

Bung Karno Sholat6

Bung Karno Sholat7

Usai shalat, tak pernah lupa Bung Karno khusuk berdoa. Tampak di sebelah kiri Bung Karno adalah Roeslan Abdulgani. Diplomat muda, pahlawan pada pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya. Ia kemudian diangkat menjadi Menteri Luar Negeri, dan termasuk tokoh di balik Konferensi Asia Afrika Bandung yang bersejarah itu. Roeslan Abdulgani wafat 29 Juni 2005 dalam usia 91 tahun.

Bung Karno Sholat8

Bung Karno Sholat9

Bung Karno Sholat10

Seperti umumnya jemaah masjid, begitu pula Bung Karno. Di dalam masjid, tidak ada presiden, tidak ada menlu, tidak ada pejabat. Yang ada hanya imam dan makmum. Begitu pula usai shalat, Bung Karno dengan santai duduk di tangga masjid untuk mengenakan sepatu, seperti halnya jemaah yang lain.

Usai shalat, ia kembali melanjutkan protokol kunjungan kenegaraannya. Antara lain menggelar pembicaraan bilateral dengan Presiden Dwight Eisenhower yang dikisahkan “kurang mesra”. (roso daras)

Published in: on 28 Juli 2009 at 18:19  Comments (86)  
Tags: , ,

Salami Anaknya, Cium Ibunya…

Bung Karno di AS 1956

Tahun 1956 adalah tahun pertama kali Presiden Sukarno menginjakkan kaki di Amerika Serikat. Ia menuju Negeri Paman Sam dengan segumpal kekaguman terhadap tokoh-tokoh kebangsaan negeri itu. Ia juga masih dielu-elukan sebagai Presiden negara baru yang namanya sudah menjulang di jajaran pemimpin-pemimpin dunia.

Dalam penuturannya kepada Cindy Adams, tampak sekali Sukarno sangat menikmati kunjungannya ke Amerika yang pertama. Ia bahkan masih ingat jumlah wartawan yang mengerubunginya setiba di sana: 110 wartawan! Ia teringat pula, masa-masa sekolah di HBS Surabaya, sudah melalap habis konsep declaration of independence Thomas Jefferson, ia menelaah Das Capital, ia bahkan mempelajari sejarah para pendiri bangsa Amerika dengan seksama.

Alhasil, ketika ditanya, “Presiden Sukarno, apakah maksud perjalanan tuan ke Amerika?” segera Bung Karno menjawab, “Sejak masa pemuda saya telah mencintai negeri Saudara.” Segera ia lanjutkan dengan jawaban lanjutan, “Di dalam pikiranku saya telah melihat semua gedung Saudara. Saya telah menjelajah seluruh negeri ini. Bahkan saya lebih mengetahui tentang negeri Saudara daripada Saudara sendiri. Jadi, saya datang kemari untuk menghargai Saudara”

Seorang wartawan lain tunjuk jari dan melempar tanya, “Menurut pendapat Tuan Presiden, di manakah letak perbedaan yang paling besar antara Indonesia dan Amerika?”

Awalnya, Bung Karno menjawab serius, “Salah satunya ialah di dalam cara pemilihan tokoh-tokoh politik untuk memegang pemerintahan.” Ya, seperti kita ketahui, ketika itu Amerika sudah memberlakukan one man one vote alias pemilihan langsung pemimpin pemerintahan mereka. Sementara Indonesia menggunakan sistem perwakilan.

Setelah itu, Bung Karno meluncurkan jawaban yang membuat suasana menjadi cair… “Perbedaan yang lain ialah pada cara orang Amerika bersalaman. Orang Amerika bersalaman dengan para ibu dan mencium anaknya. Inilah perbedaan kita yang sangat besar. Cara Sukarno: Bersalaman dengan anaknya dan mencium ibunya….” (roso daras)

Bung Karno di AS 1956b

Published in: on 28 Juli 2009 at 02:52  Comments (4)  
Tags: ,

“Singa Mimbar” Sang Pemersatu

Bung KarnoAda sejumlah buku biografi tentang Sukarno. Masyarakat lebih banyak mengenal biografi Sukarno yang ditulis Cindy Adams, “Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”. Padahal, masih ada beberapa biografi lain, baik yang ditulis penulis Indonesia maupun asing. Sejauh ini, biografi dari penulis asing yang sudah saya baca adalah tulisan Cindy Adams, Lamlbert Giebels, Willem Oltmans, dan John D. Legge.

Di antara keempat buku tadi, tulisan John D. Legge-lah yang mencoba memposisikan diri sebagai penulis biografi objektif. Akibatnya, dalam buku yang berjudul “Sukarno, Biografi Politik” ia mengkritisi hampir semua fakta sejarah yang pernah ditulis oleh penulis biografi Sukarno lain. Misalnya, tentang ibunda Sukarno, Ida Ayu Nyoman Rai yang ia ragukan berasal dari kasta Brahmana. Ia juga mempertanyakan tulisan yang mengemukakan kemelaratan Sukarno di kala kecil. Dan masih banyak lagi yang ia kritisi, sekalipun ia sendiri mengakui, tidak satu pun data dan fakta otentik yang mendukung “kecurigaan”-nya. Sungguh, sikap objektif yang aneh….

Alhasil, buku Legge, sekalipun ditulis oleh seorang profesor dari Monash University, Melbourne – Australia, relatif kurang mendapat posisi di hati bangsa ini. Hal itu mungkin karena selain relatif tidak menampilkan data atau fakta baru, catatan-catatan tanpa fakta mengenai diri Sukarno yang tidak akurat membuat secara keseluruhan buku ini tidak lebih baik dari buku-buku biografi yang sudah ada.

Yang menarik lagi, catatan-catatan kecemerlangan Sukarno dalam peta politik Indonesia, sungguh menjadi sesuatu yang tidak mungkin dia pungkiri. Alhasil, ia mau tidak mau, harus mengungkapkan prestasi Sukarno dalam kancah politik menuju Indonesia merdeka. Pada bagian ini, tentu saja ia memiliki banyak referensi yang sahih sifatnya.

Salah satu yang menarik dikutip adalah julukan dia terhadap Bung Karno sebagai “Singa Mimbar”. Ia menulis peristiwa rapat umum yang digelar PNI Cabang Batavia. Di situlah tercatat Sukarno sebagai pucuk pimpinan PNI menguraikan panjang lebar tentang prinsip-prinsip PNI.  Sejak itu pula, gema dan gaung nama Sukarno menyebar ke mana-mana, utamanya di lingkungan kaum pergerakan.

Bukan hanya itu. PNI juga menjelma menjadi organisasi yang naik daun. Sukarno menjadi tokoh bangsa yang diperhitungkan. Bahkan sejak itu, segala sesuatu sepertinya bergerak ke arah yang diinginkannya. Ke arah persatuan. Ke arah terciptanya satu kesadaran nasional, bahwa tujuan Indonesia merdeka (yang dimiliki oleh banyak tokoh pergerakan), tidak akan pernah tercapai jika diraih dengan jalan sendiri-sendiri.

Sukarno sendiri tidak pernah letih untuk mempersatukan elemen-elemen pergerakan. Puncaknya terjadi di bulan Desember 1927, ketika Sukarno berhasil mempersatukan front-front perjuangan ke dalam satu wadah yang dinamakan Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Di dalam PPPKI itulah berhimpun berbagai organisasi yang berbeda-beda.

Sejumlah organisasi yang menyatakan bergabung dalam PPPKI itu adalah PNI sendiri, Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Pasundan, Sumatranen Bond, Kaum Betawi, dan kelompok studi dr. Soetomo. PPPKI berkembang menjadi wadah penuh harapan. Mengingat latar belakang ideologi yang berbeda-beda, maka PPPKI tidak menuntut adanya persatuan ideologi, sehingga berbentuk semacam federasi. Semua yang berhimpun –dengan ideologi masing-masing– menyepakati gagasan berjuang untuk mencapai kemerdekaan politik bagi Indonesia. (roso daras)

Published in: on 27 Juli 2009 at 04:56  Comments (2)  
Tags: , , , ,

Sepincuk Pecel Rukiyem buat Bung Karno

Mbok PinAda yang unik pada saat pemugaran makam Bung Karno di Blitar tahun 1979. Suguhan makan siang bukan aneka hidangan lengkap dalam formasi prasmanan, melainkan nasi pecel. Usut punya usut, semasa hidup, setiap pulang ke Blitar, Bung Karno tidak pernah lupa makan pecel. Bahkan, ketika ia sudah menjadi presiden pun, kebiasaan itu tidak pernah hilang.

Adalah Rukiyem, penjual pecel kegemaran Bung Karno. Tahun 1978, saat penulis Anjar Any bertandang ke Blitar, Rukiyem masih hidup, tetap dengan profesinya menjual nasi pecel di Jl. A. Yani No. 43 Blitar. Ia sendiri tinggal di Gebang I/10 Blitar. Warung pecel Rukiyem sangat terkenal. Terkenal dengan nama Mbok Pin. Saking terkenalnya, sebagian besar warga Blitar tahu warung pecel Mbok Pin, langganan Bung Karno dulu.

Bercerita bagaimana ia meladeni kedoyanan Bung Karno makan pecel, Mbok Pin bertutur antusias. Ia menceritakan, setiap Bung Karno ke Blitar, entah karena tugas atau pulang berlebaran, selalu memanggil Mbok Pin. Dan… manakala undangan dari Bung Karno sampai kepadanya, ia segera bersiap dengah penuh semangat.

Dipilihnya kebaya terbaru, dipilihnya kain batik terbaik, dan disiapkannya bahan-bahan pecel kesukaan Bung Karno, termasuk pisang kapok bakar. Setelah siap, ia bergegas ke Jl. Sultan Agung, tempat keluarga Bung Karno berkumpul. Manakala tiba saatnya acara makan pecel, semua perhatian tertuju ke Mbok Pin. Tak lupa, Bung Karno akan menyapa akrab penjual pecel yang ketika itu masih muda. “Wah… penjualnya cantik, kebaya dan kainnya juga baru….”

Melayang rasanya demi mendapat sapaan akrab sekaligus pujian dari Bung Karno, Presiden yang berlimpah cinta rakyatnya. Tak kuasa membalas sapaan akrab Bung Karno, Rukiyem muda hanya tersenyum-senyum malu, sambil tangannya sibuk menyiapkan sajian pecel dalam alas daun pisang. Rukiyem juga sudah hapal betul, daun-daun apa saja kesukaan Bung Karno, dan seberapa banyak takaran sambalnya.

“Beliau itu… kalau lagi pesen pecel, tidak sungkan-sungkan jongkok di depan saya… menunjuk ini-itu daun-daun mana yang ia kehendaki…. Saya bahagia sekali bisa meladeni beliau dan keluarganya. Sepertinya, tidak ada kebahagiaan lain yang lebih menyenangkan dibandingkan menyajikan sepincuk pecel kepada Bung Karno,” tutur Mbok Pin dengan rona berbinar-binar.

Usai acara makan pecel, Bung Karno memberinya uang Rp 700. Suatu jumlah yang sangat-sangat besar ketika itu, mengingat harga sepincuk pecel hanya beberapa rupiah saja.  “Makanya, kalau mendapat panggilan Bung Karno rasanya seperti menang lotere… ,” ujar Mbok Pin sambil terkekeh. (roso daras)

Published in: on 26 Juli 2009 at 04:19  Comments (6)  
Tags: , ,

Wafatnya Sukarnois Sejati… Omar Dhani

Jumat, 24 Juli 2009 siang, mantan Menteri/KSAU Omar Dhani meninggal dunia di RS Angkatan Udara, Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, dalam usia 85 tahun. Untuk mengenang seorang Sukarnois sejati, saya kutip sebagian wawancara Omar Dhani dengan Tempo berikut ini.

Omar Dhani

Buku “Pergunakanlah Hati, Tangan dan Pikiranku: Pledoi Omar Dani” adalah satu dari sekitar seratus buku tentang G30S. Jelas buku ini penting karena ditulis oleh salah satu pelaku utama. Setelah dibungkam selama 29 tahun, baru kali ini bekas pucuk pimpinan Angkatan Udara itu bicara. Ia baru dibebaskan dari penjara Cipinang tahun 1995 — fotonya baru belakangan ini dipajang di Markas besar AU sebagai KSAU kedua.

Daned, begitu ia disapa, lahir di Solo pada 1924. Putra KRT Reksonegoro, Asisten Wedana Gondangwinangun, Klaten, menapaki karir penerbang pada akhir 1950 di Taloa, Amerika Serikat. Tahun 1956 ia bertugas belajar di Royal Air Force Staff College di Andover, Inggris. Pulang dari Inggris, ia terlibat berbagai tugas, misalnya menumpas pemberontakan PRRI di Sumatera. Dan belum genap 38 tahun, pada 19 Januari 1962, Omar Dani menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara menggantikan Laksamana Udara Surjadi Suryadarma. Peristiwa G-30-S seperti menjungkirbalikkan karirnya yang cemerlang, ia dituduh terlibat.

Dua hari setelah merayakan ulang tahun yang ke-77, bapak lima anak ini menerima tim redaksi TEMPO. Wawancara berlangsung di rumahnya, di kawasan Kebayoran Baru yang asri, ia didampingi oleh A. Andoko, bekas deputi Men/Pangau bidang logistik. Berikut petikannya:

Bisa Anda ceritakan situasi pada tanggal 30 September 1965?

Tanggal 30 September 1965, sore jam 16.00, laporan pertama masuk dari Letkol Udara Heru Atmodjo, Asisten Direktur Intel AURI, bahwa ada gerakan di lingkungan AD yang akan menjemput jendral AD untuk dihadapkan kepada Bung Karno. Itu reaksi dari para perwira muda AD yang tidak puas terhadap keadaan AD. Lalu saya minta dia untuk mengecek kebenarannya. Kemudian jam 20.00 malam dia datang lagi.

Apa yang disampaikan Heru Atmodjo?

Saya tanya jam berapa operasi akan dilakukan. Heru menjawab (operasi bisa terjadi) jam 23.00 (30 September), bisa 01.00 atau jam 04.00 (1 Oktober 1965). Kami heran, sudah kurang 24 jam kok (operasi) itu belum dipastikan jamnya. Kemudian ada yang menanyakan daftar yang akan diculik. Disebutkan, A. Yani, Nasution, DI Panjaitan dan seterusnya. Saya pribadi berpendapat, kalau orang hendak melakukan pemberontakan, pantasnya targetnya adalah jenderal yang memegang komando, misalnya, Yani (Menpangad), Soeharto (Pangkostrad), Sarwo Edie (Komandan RPKAD), Umar Wirahadikusumah (Pangdam Jaya). Lha Nasution kan nggak pegang komando. Saya pribadi tambah merasa aneh karena Nasution dan A. Yani dalam satu paket sasaran, padahal keduanya bertentangan terus.

Apa pertimbangan di balik keluarnya perintah harian Menpang/KSAU pada tanggal 1 Oktober 1965?

(Andoko menjawab pertanyaan ini: Ada tiga macam pengumuman waktu itu. Pertama surat perintah harian tadi, lalu kedua pada tanggal 2 Oktober 1965 jam 14.00, saya yang buat. Pada saat itu Menpangau berada di Lanud Iswahyudi, Madiun. Beliau juga membuat konsep kelanjutan dari pengumuman pertama. Kalau dibaca keduanya sama isinya: menolak adanya Dewan Revolusi. Omar Dani dari Madiun langsung kembali ke Bogor, ketemu Bung Karno, dan menunjukkan pengumuman itu. Tanggal 3 pagi dinihari baru diumumkan).

Saya membuat statement, isinya mendukung gerakan yang antirevolusioner, atas saran Heru Atmodjo. Katanya agar rakyat tahu. Kebodohan saya mungkin, karena saya kurang ngerti politik. Tahu-tahu paginya, sekitar jam 07.00 pada 1 Oktober 1965, ada siaran dari RRI tentang gerakan yang menamakan diri G-30 S. Dan tiba-tiba Presiden Sukarno mau pulang ke istana pun tak bisa. Yang menjaganya pasukan yang ditakuti, pasukan yang tak diketahui.

Kenapa Bapak membuat pernyataan seperti itu?

Karena semalam sebelumnya, intel AURI melaporkan bahwa malam itu ada gerakan dari perwira-perwira muda AD terhadap atasannya yang didukung seluruh bawahan dan sipil dari empat angkatan. Lho untuk apa? Ternyata akan menculik jenderal-jenderal.

Bagaimana awalnya Bung Karno berada di Halim hari itu?

Pagi itu saya sedang ada di Halim Perdanakusuma, tahu-tahu Letkol Soeparto, sopir dan ajudan BK menelpon saya. Dia menelepon dari rumah saya, Wisma Angkasa. Saya bertanya, Mas lha ini ada apa. Sudahlah nanti saya ceritakan, Bapak (Bung Karno) saya bawa ke Halim, jawabnya. Saya menawarkan diri untuk menjemput, dia bilang nggak usah. Saya nggak tahu kalau dia berada di Wisma Angkasa. Terus dia kembali ke BK, lalu BK pergi ke Halim. Jadi saya nggak minta BK datang ke Halim tetapi itu merupakan keputusan BK sendiri. Kemudian, karena BK hendak datang ke Halim, saya lantas mencoba menyetop pernyataan saya yang sudah terkirim ke Markas Besar AU. Begitu BK datang, di Halim kami mengobrol. Tak lama, datang Brigjen Soepardjo, datang sendiri menghadap BK. Lha, saya tahu Brigjen Soepardjo itu salah satu orang yang mengetahui dari gerakan dalam AD tersebut. Walaupun dia lain angkatan, dia itu anak buah saya di Komando Mandala Siaga.

Soeharto dikabarkan menolak menghadap BK pada 1-4 Oktober 1965?

(Terdiam sesaat) Kalau Harto dipanggil nggak datang itu bukan keanehan lagi. Itu artinya menentang atasan, apalagi atas perintah Panglima Tertinggi. Ini artinya subordinasi. Kalau dipanggil Pangti harus datang, apapun situasinya. Jawaban Harto waktu itu karena AD sudah kehilangan banyak jenderal, jadi dia nggak mau mengambil risiko lagi. Tetapi saya pikir tetap nggak boleh. Kalau A. Yani meninggal, katanya dia terus hendak mengambil alih Panglima AD juga, padahal tidak bisa dilakukan begitu saja.

Banyak analisa yang menyebutkan bahwa Soeharto terlibat dalam G-30 September?

Kilas baliknya lebih kentara lagi. Misalnya Komando Siaga Mandala, wadahnya Koti (Komando Tertinggi). Dalam hirarki kemiliteran, waktu A Yani dijadikan Menpangad, Nasution itu sebenarnya pingin menjadi Menhankam/Pangad. Tetapi saya tahu maksudnya dia ingin berkuasa di AD. Itu sudah saya lihat gelagatnya sedari 1945. Jadi kita tahu misalnya di AURI ada peristiwa-peristiwa pengganjalan. Peristiwa Soejono 1955 di Halim Perdanakusuma, Pak Suryadarma (Panglima AU pertama) diganjal terus ketika hendak dibentuk Wakil KSAU.

Para jenderal dikorbankan oleh siapa?

Dua orang. Soeharto dan Nasution. Itu sudah ada rekayasa. Kok tahu-tahu muncul istilah G-30S/PKI. Sejak kapan kok terus PKI disangkutkan? Buktinya apa? Heru Atmodjo, Soejono, nggak pernah menandatangani pernyataan Dewan Revolusi. Ketika Letkol Untung jadi saksi dalam persidangan Soepardjo, hakim menanyakan siapa yang memimpin aksi G-30S, Untung langsung menyahut: saya. Keanehan yang lain soal pengumuman Dewan Revolusi 1 Oktober, bahwa pangkat di atas Letnan Kolonel harus dicopot menjadi Letkol. Brigjen Soepardjo, waktu 1 Oktober 1965 pergi ke Halim menghadap BK, memakai pangkat Brigjen.

PKI dikorbankan juga?

Oh, iya. Gambaran seperti pesta-pesta di Lubang Buaya itu isapan jempol. Kalau memang ada rekamannya, mengapa nggak dibuat film khusus dokumenter dan diputar. Itu semua rekayasa. Saya mempertanyakan, mulai kapan kok ada istilah G-30-S diembeli dengan PKI ? Tanggal 1 Oktober 1965 petang, saya sudah mendapat informasi bahwa AD menguber PKI. Itu pun yang diuber bukannya massa, tapi pasukan 454 dari Jawa Tengah. Mereka pada jam 16.00 hendak masuk ke Halim tetapi ditutup oleh Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI yang dipimpim Pak Wisnu Djajengminardo. Bung Karno ada di Halim waktu itu.

Soal dokumen Gilchrist, sejauhmana otentitasnya?

Desas-desus Dewan Jenderal sudah lama kami mendengarnya. Tidak hanya itu, (juga soal) penilaian pers luar negeri (mengenai siapa) yang akan menjadi pengganti Bung Karno. Yang steady itu empat orang. Soebandrio, Chaerul Saleh, Nasution dan DN Aidit. Dewan Jenderal (terdengar) pertama kali ketika Yani menghadap Bung Karno dan ditanyai soal itu. Yani menjelaskan (Dewan Jendral itu) untuk kepangkatan. Waktu itu saya tidak mendengar langsung melainkan dari Pak Mulyono Herlambang yang mewakili saya. Jadi, saat pembahasan Gilchrist tersebut saya tidak ada di tempat.

Dalam buku Soebandrio yang tidak jadi beredar, ada soal trio Soeharto-Ali Moertopo-Yoga Soegama yang disebut Dokumen Gilchrist sebagai our local army friends. Bagaimana pendapat Anda?

Bahwa G-30-S itu suatu rekayasa, memang begitulah. Menurut saya CIA itu sangat terlibat, dan Harto adalah tangan yang dipakai. G-30 S itu bikinan Harto.

Anda loyalis Sukarno ya?

Oh, ya. Saya Sukarnois. Saya bukan komunis. Tetapi saya juga tidak antikomunis. Kenapa? Karena kalau saya anti komunis itu berarti saya bukan demokrat. Kalau ada PKI memberontak terhadap pemerintah, lha saya akan menghantamnya.

Apa kegiatan yang rutin tiap hari saat ini?

Ngobrol-ngobrol, baca-baca buku. Yang dulu-dulu saya baca tetapi belum sempat dibaca karena ditahan, sekarang saatnya. Misalnya Di Bawah Bendera Revolusi saya sudah punya satu set. Juga Indonesia Menggugat. Yang saya cari sekarang pidato Bung Karno di forum PBB. Saya tidak pernah membaca buku-bukunya Harto, pun buku Nasution. Karena saya sudah tahu dan bergaul dengan mereka. Saya tidak menilai orang dari apa yang dikatakan tetapi dari tindakan. Dari karakternya. ****

Published in: on 25 Juli 2009 at 05:55  Comments (82)  
Tags: , ,