Berlenso Cha Cha Bersama BK

BK Menari Lenso

Agak berbeda dengan tokoh-tokoh seangkatannya, dalam hal pergaulan, Bung Karno sama sekali tidak pernah berdansa ball-room. Satu-satunya tarian pergaulan Bung Karno adalah tari lenso dengan iringan musik berirama tetap: cha-cha. Bahkan, Bung Karno memiliki grup musik pengiring sendiri, yang terdiri atas anggota DKP (Detasemen Kawal Pribadi)… ya… pasukan pengawal presiden.

Mereka, di bawah komando Mangil, kebetulan memang bisa memainkan musik. Maka, dalam tugas mengawal BK bertugas ke mana pun, anggota DKP tidak pernah lupa membawa peralatan musik. Mereka harus siap seandainya di luar jadwal resmi, tiba-tiba Presidennya menghendaki ada acara ramah tamah ditambah selingan melantai. Itu salah satu kegemaran Bung Karno. Dia bisa dua-tiga jam nonstop melantai dengan berganti-ganti pasangan wanita.

BK Menari dengan MegaSempat, para pengiring mencoba mengubah irama musik, karena merasa bosan memainkan jenis musik dan lagu yang sama berjam-jam… bahkan bertahun-tahun selama mereka menjadi pengawal pribadi Bung Karno. Irama yang baru itu, menurut para pemusik, tetap enak jika dipakai melantai dan berlenso. Apa yang terjadi? Seketika Bung Karno pasti membentak tidak setuju, dan memerintahkan kembali ke irama semula. Beberapa saat berlalu, upaya mengganti irama masih dilakukan, sekali-dua. Respon Bung Karno? Sama, melotot dan memerintahkan kembali ke irama cha-cha. Sejak itu, mereka tak pernah lagi mengubah irama musik setiap mengiringi Bung Karno menari lenso.

Menurut ajudan Bung Karno, Bambang Widjanarko, hobinya menari lenso, pernah ditunjukkan secara ekstrem di Roma, Italia. Tersebutlah dalam suatu kunjungan, BK diundang seseorang yang terpandang di Roma, untuk dijamu di kediamannya pada malam hari. BK dan rombongan datang memenuhi undangan itu. Rombongan Bung Karno disambut hangat oleh tuan rumah. Suasana tampak megah. Semua tamu berbusana resmi, dengan para wanitanya bergaun panjang yang anggun.

Usai ramah-tamah, acara dilanjutkan makan-minum dalam suasana galmour ala Eropa. Tak lama setelah jamuan makan malam selesai, hadirin diajak ke ruang ball-room yang luas, lengkap dengan sekelompok pemusik yang segera mengalunkan irama waltz. Para tetamu, berpasang-pasangan, segera melantai dengan anggun, memutar ke kiri mengitari ruangan sesuai aturan berdansa ball-room. Saat itu, Bung Karno tetap duduk dan berbincang-bincang dengan tuan rumah.

Pengawal membatin, “Kali ini Bung Karno kena batunya. Terpaksa ia hanya duduk melihat orang-orang berdansa, sebab dia sendiri tidak bisa berdansa ball room.”

Bukan Bung Karno kalau tidak bikin kejutan. Selesai lagu pertama dimainkan, tiba-tiba Bung Karno berdiri dan memerintahkan protokol, pengawal pribadi, dan ajudan agar segera mengambil oper alat musik, dan memainkan irama cha-cha. Yang diperintah, segera menghambur ke arah grup musik, dan mengambil alih aneka instrumen musik, dan… mengalirlah lantunan nada-nada gembira berirama cha-cha.

Bung Karno? Ia segera melenso bersama tamu yang lain. Sampai acara selesai, musisi Italia tadi tidak pernah duduk kembali di kursinya. Irama waltz yang mereka mainkan, adalah lagu pertama dan terakhir. Selanjutnya, seniman seadanya itulah yang mengisi acara santai sampai bubar. Iramanya? Cha-cha… dan hanya cha-cha saja. (roso daras)

BK Hartini Menari

Published in: on 14 Juni 2009 at 05:37  Comments (4)  
Tags: , ,

Pesan Bung Karno tentang Pemilu

BK Ingatkan Pemilu

PEMILIHAN UMUM

Djangan mendjadi tempat pertempuran, perdjuangan kepartaian jang dapat memetjah persatuan bangsa INDONESIA.

Demikian bunyi salah satu poster Pesan Bung Karno kepada rakyat Indonesia tanpa kecuali dalam menghadapi Pemilu. Rakyat pemilih, maupun rakyat yang dipilih.

Bung Karno, satu-satunya Presiden Republik Indonesia yang secara konsisten berdiri di atas semua pihak. Saat ia terpilih menjadi Presiden, saat itu juga dia bukan lagi milik partai. PNI dan Partindo adalah dua partai yang pernah dibidani dan menjadi kendaraan politik Sukarno.

Akan tetapi, sebagai seorang Presiden, ia kemudian tidak lagi berpartai. Ia menaungi seluruh partai politik. Ia menjadi bapak bangsa. Ini yang tidak pernah ditiru oleh para penerusnya, baik Soeharto (Golkar), Habibie (Golkar), Gus Dur (PKB), Megawati (PDI-P), Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat). Mereka tidak pernah melepaskan diri dari partainya, karenanya, tidak ada satu presiden pun (setelah Bung Karno) yang benar-benar berdiri di atas semua golongan, menjadi pengayom bagi seluruh rakyatnya. (roso daras)

Published in: on 14 Juni 2009 at 03:52  Comments (4)  
Tags: