“Silent Mission” di Malaysia

Oei Tjoe Tat Menerma Pasukan Relawan

Dibentuknya negara boneka Malaysia oleh Inggris, memang salah satu tujuannya adalah untuk mengerangkeng Indonesia, yang di bawah Bung Karno sudah berhasil menggalang kekuatan-kekuatan baru. Bahkan, siap mendirikan kekuatan blok baru bernama CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) untuk menyaingi dua kekuatan blok yang sudah ada (Blok Uni Soviet dan Blok Amerika Serikat).

Pengobaran dua komando rakyat (Dwikora) tahun 1964 melibatkan banyak pejabat dan rakyat. Satu di antaranya adalah Oei Tjoe Tat yang ketika itu menjabat Menteri Negara Diperbantukan pada Presidium Kabinet Dwikora. Dalam suatu pertemuan di Istana, Jenderal Achmad Yani mendekati Oei Tjoe Tat dan berkata, “Kamu sebagai menteri keturunan Tionghoa nanti bisa bermanfaat dalam konfrontasi.”

Barak Sukarelawan di KalbarBenar. Seperti halnya pejabat-pejabat yang lain, maka Oei Tjoe Tat pun mendapat perintah khusus dari Bung Karno dalam misi “Ganyang Malaysia”.  Pesan Bung Karno kepada Oei, “Perang bukan hanya untuk dimenangkan di atas rumput hijau medan, juga di meja hijau rapat. Artinya, kamu saya tugaskan melakukan apa yang dinamakan silent mission.”

Oei Tjoe Tat mengemban tugas strategis. Karena dialah yang maju ke garis terdepan, menyusup ke wilayah musuh menjadi mata dan hidung Presiden Sukarno. Perintah Bung Karno diterimanya gamblang, “Kamu harus merasuk ke dalam dan makin ke dalam. Bekerja dengan semua pihak, golongan, yang kiranya bisa bermanfaat buat konfrontasi. Kamu bekrja dengan ultra merah, ultra putih, dengan komunis, sosialis, pengusaha, mahasiswa, nite-club, hostes, pelacur, profesor, tokoh-tokoh Kuomintang. Tengku Abdul Rahman, Lee Kuan Yew, Lee Siew Chow, Ketua Barisan Sosialis Singapura, dan sebagainya.”

Caranya?

Oei Tjoe Tat Turun dari Kapal Bea CukaiOei Tjoe Tat menyamar. Ia melakukan serangkaian perjalanan dengan berbagai macam profesi bulan Agustus 1964. Ia kadang menyamar menjadi pedagang, sukarelawan, pegawai bea cukai, apa saja…. Dalam seluruh rangkaian perjalanannya ke daerah perbatasan dan wilayah musuh, ia menyaksikan kita sudah siap perang. Sukarelawan tinggal menanti perintah. Bukan hanya itu, banyak di antara relawan itu yang merupakan warga Malaysia, Brunei, Singapura, yang tidak setuju terhadap pembentukan negara boneka Malaysia.

Meski kondisi mereka serba kekurangan, tegang setiap saat menanti perang, tetapi semua dalam semangat yang menyala-nyala. Oei Tjoe Tat bahkan mencatat seorang anggota KKO (Marinir) yang sudah putus kaki dan lengan tangannya karena terkena ranjau laut, menolak dipulangkan ke Jawa, dan tetap bertahan dan dalam semangat tempur yang tinggi.

Satu hal yang bisa dicatat adalah, tahun 1964, semangat nasionalisme rakyat Indonesia begitu berkobar-kobar. Kini, semangat itu terbukti belum pudar. Yang membedakan adalah, siapa pemimpinnya! (roso daras)

“Pe de ka te” Bung Karno kepada Fatma

BK dan Fatmawati Bersepeda

Bung Karno bolehlah kita tasbihkan sebagai perayu ulung. Dalam postingan terdahulu, kita ketahui bagaimana Sukarno muda “memburu” noni-noni Belanda menjadi kekasihnya. Dalam sejarah hidup cintanya, gadis pertama yang ia cium adalah gadis belanda. Tercatat pula sedikitnya empat noni Belanda pernah singgah mengisi dunia cinta Sukarno.

Romansa cinta Sukarno – Fatmawati, sangat kesohor, karena memang telah ia umbar dalam banyak buku. Anda tahu? Bung Karno naksir Fatmawati ketika Fatma masih berusia 15 tahun. Ia adalah teman Ratna Djuami, anak angkat Sukarno – Inggit Ganarsih sewaktu proklamator kita menjalani hidup pengasingan di Bengkulu.

Suatu sore di tahun 1943, Bung Karno berkesempatan jalan-jalan berdua Fatma. Bertanyalah Fatma kepada Bung Karno, “Jenis perempuan mana yang Bapak sukai?” Bung Karno memandang gadis desa putra tokoh Muhammadiyah yang berbaju kurung merah, berkerudung kuning itu seraya menjawab, “Saya menyukai perempuan dengan keasliannya. Bukan wanita modern pakai rok pendek, baju ketat dan gincu bibir yang menyilaukan. Saya suka wanita kolot yang setia menjaga suaminya dan senantiasa mengambilkan alas kakinya. Saya tidak menyukai wanita Amerika dari generasi baru, yang saya dengar menyuruh suaminya mencuci piring.”

“Saya setuju,” bisik Fatma. Bung Karno menimpali, “Saya menyukai perempuan yang merasa berbahagia dengan anak banyak. Saya sangat mencintai anak-anak.” Lagi-lagi Fatma menyahut, “Saya juga.”

Minggu berganti bulan dan bulan pun berganti tahun. Rasa cinta mulai bersemi di hati keduanya. Meski begitu, Bung Karno berusaha memendam perasaan itu dalam-dalam karena penghargaannya yang tinggi terhadap Inggit, yang sudah separuh usianya mendampingi dengan setia. (roso daras)