Di Balik “Perpecahan” Sukarno – Hatta

Bung Karno - Bung Hatta OK

Baiklah. Kita sepakati saja, mundurnya Mohammad Hatta alias Bung Hatta dari jabatan Wakil Presiden 1 Desember 1956, adalah sebuah antiklimaks bagi keagungan “dwitunggal” Sukarno – Hatta. Menelisik perbedaan pendapat antarkeduanya, adalah sebuah telaah sejarah politik yang sungguh menarik dan tak berkesudahan.

Bung Karno - Bung Hatta 2Akan tetapi, mendudukkan keduanya dalam dua kursi terpisah, tidak terlalu pas. Apalagi jika kursi itu digambarkan sebagai beradu punggung. Setali tiga uang, menyamakan perpecahan Bung Karno dan Bung Hatta seperti pecahnya Presiden-Wapres KH Abdurrahman Wahid – Megawati Soekarnopotri, dan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla, juga tidak benar.

Sebelum dwitunggal pecah, maupun setelah dwitunggal pecah, rakyat Indonesia tetap mencintai Bung Karno… sama besarnya cinta rakyat kepada Bung Hatta. Demikian pula kecintaan Bung Karno dan Bung Hatta kepada rakyat.  Perbedaan pandangan politik keduanya, berhenti pada tataran perbedaan pandangan yang sama sekali tidak membunuh keintiman batin keduanya.

Manusia Sukarno dan manusia Hatta, tetap menjalin hubungan batin yang tulus. Keduanya saling menolong bila salah satu memerlukannya. Keduanya tetap saling bertemu, keakraban hubungan keduanya tetap terjalin. Seperti contoh, tahun 60-an, sewaktu Bung Karno mendengar bahwa Bung Hatta sakit, BK segera datang menjenguknya. Tidak hanya itu, ia segera membantu agar secepatnya Bung Hatta dapat segera berobat ke luar negeri.

BK - BHBegitu pula ketika Bung Karno tergolek sakit. Ucapan semoga lekas sembuh serta iringan doa tulus Hatta ditujukan bagi Bung Karno sahabatnya. Bahkan, Bung Hatta-lah yang mewakili Bung Karno menjadi wali dalam pernikahan Guntur Sukarnoputra tahun 1968, sewaktu Bung Karno kritis dan berhalangan menghadiri akad nikah putra pertamanya. Bahkan, ketika Bung Hatta berkunjung ke Amerika dan mendapati Bung Karno diberondong cemooh dan hinaan, Bung Hatta tegas menukas, “Baik buruknya Bung Karno, beliau adalah Presiden saya!”

Keduanya sungguh teladan bagi bangsa ini. Dengan tegar mereka saling mengkritik dan menghantam sikap atau pandangan pihak lain yang dianggap tidak benar.  Sebaliknya, keduanya akan saling menghargai dan mengakui dengan jujur kebenaran pihak lain yang menurutnya dianggap benar. Dan di atas semua itu, sejatinya, di dalam diri Bung Karno dan Bung Hatta tidak sedebu kuku pun tersimpan noda permusuhan.

Keduanya gigih mempertahankan dan memperjuangkan pendiriannya, namun tetap manusiawi dalam melaksanakan hidup serta tetap berhubungan satu sama lain. Sejatinya, merekalah DWITUNGGAL INDONESIA, dan satu-satunya DWITUNGGAL NEGERI INI. (roso daras)

Published in: on 7 Juni 2009 at 12:15  Comments (8)  
Tags: ,

Ciuman Pertama Bung Karno

bk mudaKapan pertama kali Anda merasakan getaran cinta? Atau dalam kalimat yang lebih sederhana, kapan Anda pertama kali merasakan tertarik kepada lawan jenis? Kalau pertanyaan itu dilontarkan kepada Bung Karno, ia akan menjawab, “Usia empat belas, saat masih duduk di kelas lima Indlandsce School atau Sekolah Dasar Bumiputera di Mojokerto, Jawa Timur.”

Benar. Umur 14 tahun untuk pertama kali Bung Karno merasakan getar-getar cinta. Siapa gadis yang telah menggetarkan hati Sukarno remaja? Dia adalah gadis bule bangsa Belanda bernama Rika Meelhuysen. Soal keberanian “nembak” gadis, Bung Karno memang sudah berbakat sejak muda. Daya tarik Bung Karno di mata lawan jenis, juga sudah tampak sejak muda. Karenanya, cinta pertama Bung Karno kepada Rika Meelhuysen bukanlah cinta yang bertepuk sebelah tangan. Cinta Bung Karno adalah cinta yang berbalas.

Gaya “pe-de-ka-te” Bung Karno memang galant. Ia tak segan membawakan buku-buku Rika. Di tengah rutinitas bermain, Bung Karno acap menyempatkan diri melintas di depan rumah Rika, hanya dengan satu harapan, ia bisa memandang pujaan hati, meski sekilas….

Dan, Rika-lah gadis pertama yang mendapat ciuman Bung Karno. Ciuman penuh cinta. Menggambarkan peristiwa itu, Bung Karno dalam buku biografi yang ditulis Cindy Adams mengatakan, “Aku sangat gugup waktu itu.” Tapi dalam kalimat berikutnya, ia menceritakan bahwa pada ciuman-ciuman selanjutnya, ia menjadi lebih ahli…. (roso daras)

BK tempo doeloe

Published in: on 7 Juni 2009 at 05:03  Comments (19)  
Tags: , ,